Media untuk berbagi informasi terkini, terbaru hari ini....

Perlukah Pemekaran Di NTB ???

TARIK ULUR PEMEKARAN PROPINSI PULAU SUMBAWA MERAJUT KONFLIK ETNIS DAN KEPENTINGAN
Oleh : Rangga
Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar )
tulisan ini diambil dari email/yahoo millis bimacenter millis

tulisan ini terilhami dari dinamika politik kota dan Kab Bima saat ini. setiap hari terjadi aksi menuntut pembentukan PPS (Propinsi Pulau Sumbawa), hal tersebut muncul akibat ketidakpuasan Dou Mbojo atas ketidakadaanya perwakilan Etnis Mbojo (Bima-Dompu) dalam perebutan "NTB 1" dan "NTB 2". issu yang awalnya adalah GOLPUT Pada Pilgub NTB kemudian 'menarik tinta' menjadi issu segera untuk membentuk Propinsi Pulau Sumbawa. Issu ini menjadi "makanan empuk" bagi para kandidat yang berlaga Di Pilgub Juli mendatang dalam memainkan konflik politik khususnya di Pulau Sumbawa (Bima-Dompu) . saya akan sedikit mengupas tentang Kepentingan politik dan etnis terhadap pemekaran tersebut dengan mengetengahkan latarbelakang/ asal muasal rencana Pemekaran Pulau Sumbawa tersebut.
Propinsi Nusa Tenggara Barat atau disingkat NTB, merupakan salah satu propinsi dari 33 propinsi di Indonesia. NTB semula dibentuk karena kesamaan budaya dan agama setelah memisahkan diri dari Propinsi Sunda Kecil yang terdiri dari Bali, NTB, dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 1958. Selama ini Propinsi NTB meliputi dua wilayah pulau besar yaitu Lombok dan Sumbawa. Pulau Lombok yang meliputi satu kota dan tiga kabupaten luasnya 23,51 persen atau sepertiga dari luas pulau Sumbawa dihuni oleh 2,93 juta jiwa sama dengan 70,65 persen penduduk NTB. Kepadatannya 617,76 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan pulau Sumbawa yang meliputi satu kota dan empat kabupaten luasnya 76,49 persen dari luas NTB sama dengan tiga kali pulau Lombok penduduknya 1,22 juta jiwa atau 29,35 persen yang berarti kepadatannya 78,88 jiwa per kilometer persegi. (Sumber BPS NTB 2006)
Pada akhir tahun 2000 yang lalu wacana pemisahan diri pulau Sumbawa dari Propinsi NTB hangat dibicarakan oleh berbagai kalangan. Pro kontra tidak lepas dari pembicaraan maupun seminar yang diadakan berkaitan dengan hal tersebut. Awalnya adalah sekedar mereka-reka atas Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia yang ada diwilayah pulau Sumbawa. Bila Pulau Sumbawa membentuk propinsi sendiri, ia sangat bergantung kepada Kabupaten Sumbawa. Karena secara geografis dan historis, Kabupaten Sumbawa memiliki hubungan erat dengan etnis Sasak. Namun Sumbawa sudah kadung diklaim sebagai etnis Samawa. Ketika diklaim sebagai etnis, maka kita akan bertanya posisinya di propinsi?
Jika Sumbawa bergabung dengan Dompu dan Bima (Pemerintah Kabupaten diwilayah Pulau Sumbawa), besar kemungkinan Sumbawa membentuk propinsi sendiri. Sebaliknya jika masih merasa menyatu dengan Sasak, pembentukan Propinsi Sumbawa kecil kemungkinan bisa terjadi. Minat membentuk propinsi sendiri tidak lepas dari konflik dalam struktur pemerintahan yang terpolarisasi oleh pemahaman etnis. Konflik itu cukup kuat ditengah berbagai kalangan. Sehingga hal ini memunculkan konflik di NTB yang sangat rentan oleh masalah etnis. Karena terdapat tiga etnis -- Sasak, Samawa, dan Mbojo -- masing-masing merebut posisi dalam struktur kekuasaan.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Negeri, Daeng Muhammad Nazir mengatakan, masih terdapat 131 usulan pembentukan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Dari 131 usulan tersebut, 17 di antaranya yang diajukan sebelum diberlakukannya UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan telah dibahas undang-undang pembentukannya oleh DPR. Daeng Nazir mengatakan, sejak 1999 hingga 2004 telah terbentuk sekitar 150 daerah otonom, terdiri atas 117 kabupaten dan 27 kota serta tujuh propinsi baru. Dari beberapa daerah otonom baru itu, ada yang masih menghadapi berbagai kendala dan menimbulkan persoalan serta belum mampu mandiri seperti diharapkan. Berdasarkan evaluasi, sekitar 89,5 persen kabupaten/kota induk belum memberikan dukungan dana, sehingga sering terjadi sengketa. Lalu, 91,2 persen belum memiliki rencana umum tata ruang serta beberapa kabupaten/kota masih rebutan ibukota.
Wacana pembentukan provinsi Pulau Sumbawa ditanggapi serius oleh pihak eksekutif yang berada dipulau Sumbawa, antara lain Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawa Besar, Dompu, Bima dan Kota Bima. Pada tanggal 25 Perbuari 2001 diadakanlah sarasehan nasional masyarakat pulau sumbawa di Bandung yang bertemakan “Menyatukan Persepsi Dalam Menyikapi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa” yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Sumbawa – Bandung. Dalam sarasehan tersebut terkuak Wacana pembentukan propinsi Sumbawa yang merupakan akumulasi distribusi kekuasaan yang tidak merata diantara etnis di NTB. Jika ditelusuri kebelakang bahwa ada pertarungan di tingkat elit karena distribusi kekuasaan. Sementara ini pertarungan di tingkat etnis juga merupakan issue yang menggeliatkan pembentukan propinsi Sumbawa. Kita bisa melihat di DPR – RI semua utusan daerah yang berjumlah 4 orang semuanya berasal dari lombok. Dan juga komposisi di anggota DPRD I NTB.
Ditengah wacana pembentukan provinsi pulau Sumbawa yang mulai hangat dan giat diperjuangkan, muncul steatment Mendagri dan Otonomi, Suryadi Sudirja dalam harian kompas, Rabu, 14 Pebruari 2001. Dalam laporan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah menerima usulan pembentukan daerah otonom baru yang terdiri dari 13 Provinsi, 44 Kabupaten, 10 peningkatan status wilayah pembantu kabupaten, 24 peningkatan status kota administratif dan lima usulan pembentukan kota. Ketiga belas provinsi tersebut adalah Banten, Gorontalo, Bangka, Madura, Tapanuli, Bima, Flores, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Maluku Tenggara, Ketapang, dan Luwu Raya. Sumbawa yang didengungkan ternyata Bima yang muncul. Ada apa di balik ini ? konflik mulai ditoreh.
Dari pernyataan tersebut, rentetan konflik menyertai isu pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa.. Konflik etnis bermunculan, tidak hanya antara Lombok (etnis Sasak) yang merupakan bagian dari provinsi NTB dengan sumbawa (Etnis Samawa) dan Bima (Etnis Mbojo). Namun konflik struktural pun menjadi imbas dari masalah tarik ulur pembentukan provinsi baru ini.
Tak pelak lagi, pada tahun 2003, NTB melaksanakan Pilkada Gubernur. Sebelumnya NTB dipimpin oleh gubernur Harun Al Rasyid (Etnis Mbojo), kemudian mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya (sebelum menjadi anggota DPD RI saat ini). Alhasil Pilkada NTB pada tahun 2003 tersebut dimenangkan oleh Lalu Sarinata dari etnis Sasak.
Kemenangan Lalu Sarinata menjadi jargon kemenangan etnis Sasak. Beberapa tulisan ditembok maupun spanduk menghujat etnis Mbojo (Bima) disertai dengan berbagai cacian dan umpatan yang menyakitkan, tentunya dengan menggunakan bahasa sasak. Mataram bergejolak, walau saat itu tidak sampai menimbulkan keributan yang signifikan karena aparat kepolisian sigap dalam membaca kondisi. Masalah tidak sampai disitu, konvoi sepeda motor yang mengolok-olok masyarakat Bima yang tinggal di Lombok (khususnya Mataram) oleh masyarakat lombok kian berani. Puncak dari suasana tersebut adalah terjadinya bentrok antara mahasiswa Pertanian UNRAM yang didominasi mahasiswa Bima, Dompu dan Sumbawa (semuanya dari pulau Sumbawa) dengan Mahasiswa Tekhnik UNRAM yang didominasi oleh Mahasiswa Lombok dan Bali. Bentrokan ini berimbas pada pemboikotan transportasi Bima – Mataram dan begitupun sebaliknya. Mataram mencekam selama 2 hari. (Kilas, 29/5)
Dalam struktur birokrasi pemerintahan provinsi juga terkena imbas, para pejabat teras yang menempati kursi Kanwil, Kadis, Badan maupun kabag khususnya etnis Mbojo dan Samawa dimutasi secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan alasan penyegeran roda kepemerintahan. .
Diskriminasi sukuisme dimulai, Masyarakat Bima (Mbojo) mengadakan acara halal bihalal di Jakarta pada mei 2002. disela acara halal bihalal yang diselenggarakan oleh ”Komunitas Lamba Rasa” juga membahas kesiapan serta kesepakatan masyarakat Bima untuk terus memperjuangkan provinsi Pulau Sumbawa dengan kesepakatan bahwa ibu kota provinsi berada dikota Bima sesuai dengan salah satu ketentuan UU, bahwa ibu kota propinsi harus berada dalam wilayah kota madya. Prof. Dr (alm) Affan Gafar menyatakan bahwa sudah saatnya kita membangun tanah kelahiran kita sendiri oleh diri kita sendiri. Lombok awalnya bukan bagian dari wilayah Nusa Tenggara Barat, namun dari Sunda Kecil (Bali) karena sama-sama etnis sasak.
Tak disangka, pernyataan almarhum Prof.Dr Afan Gaffar mengundang reaksi serius dari masyarakat sumbawa. Hal ini juga dipicu oleh pernyataan Mendagri dan Otonomi Daerah, Suryadi Sudirja bahwa salah satu daerah yang merupakan daerah otonom baru adalah Bima, bukan Sumbawa. Politik mulai merasuki sendi perseteruan etnis ini. Dalam menganggapi hal tersebut Arif hidayat, pencetus Sarasehan nasional masyarakat Pulau sumbawa di bandung pada awal 2001 lalu segera menyelenggarakan Kongres Rakyat Sumbawa di kec Alas yang dihadiri ribuan warga. Kesepakatan yang dicapai adalah, ibu kota propinsi yang akan dibentuk harus di Sumbawa Besar.. Hal ini didukung penuh oleh Bupati Sumbawa, Drs. H. A Latif Majid, SH. Dengan menyatakan bahwa “jika ibukotanya tidak dikabupaten Sumbawa, lebih baik pembentukan provinsi dibatalkan, dan kami dikabupaten Sumbawa ini akan membentuk provinsi sendiri” (Gaung Sumbawa, mei/2002)
Saling klaim tempat yang akan menjadi calon ibu kota propinsi mengakibatkan ketidak harmonisan hubungan pemerintahan Sumbawa besar dan Bima. Puncak dari sikap dingin ini adalah terjadinya boikot jalan yang dilakukan masyarakat sumbawa terhadap kendaraan umum maupun pribadi yang menuju Bima dan sebaliknya. Berbuntut terjadinya bentrok masyarakat Bima dan masyarakat Sumbawa di camp pekerja PT Newmont Nusa Tenggara batu hijau sumbawa yang menewaskan 3 orang dan puluhan korban lainnya luka-luka dari kedua pihak pada tahun 2003.
Pada tanggal 16 september 2006 dimotori oleh Putri Sultan Bima yang juga Ketua Umum Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S), Hj.Siti Maryam Rahmat melakukan pertemuan di pantai Lakey kab Dompu yang dihadiri oleh Bupati dan Ketua DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota Bima dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali. Dari pertemuan tersebut disepakati tentang ibu kota propinsi pulau sumbawa yaitu di sumbawa besar, demi menjaga stabilitas masyarakat pulau sumbawa.
Dari pertemuan segitiga etnis Mbojo tersebut (Kab Dompu, Bima dan Kota Bima) dilanjutkan dengan Pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa yang berlangsung Minggu pagi 20 November 2006, merupakan momen bersejarah bagi perjuangan Pembentukan Provinsi pulau Sumbawa (PPS).. Betapa tidak, pada pertemuan di Sumbawa tersebut, menjadi ajang persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi daerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa.
Nota persetujuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR Kabupaten Sumbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Turut menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar, Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI , Hamdan Zulva.
Persoalan tidak berakhir sampai disitu, masyarakat Lombok (sasak) menanggapi sinis atas nota persetujuan dalam rangka pembentukan propinsi pulau sumbawa. Celah demi celah dimasuki, rentetan aksi serta peristiwa etnis yang terjadi di NTB tidak terlepas dari ketidak relaan Lombok melepas Sumbawa dalam kesatuan provinsi NTB. Mulai dari tersendat-sendatnya pemekaran Lombok Utara dan Kota Selong hingga saat ini. Jika kita merunut pada perundang-undangan yang berlaku, provinsi induk (NTB) minimal harus memiliki lima kab/kota. Keterkaitan penikaman sdr Ridwan, salah seorang mahasiswa IKIP mataram asal Bima juga merupakan buntut kesinisan masyarakat sasak.
Pihak ke tiga yang bermain dalam kekisruan etnis tidak bisa dielakkan. Wacana pembentukkan provinsi Sumbawa bukanlah rumor yang berhembus begitu saja tanpa ada api yang menghasilkan asap. Suka cita ini ditanggapi dengan rasa syukur oleh etnis yang berdiam dipulau Sumbawa. Dilain pihak kelompok yang tidak menginginkan Sumbawa menjadi provinsi, saat ini menjadikan Sumbawa sebagai medan test Case untuk mempertontonkan kemahirannya. Konspirasi lokal makin menguat membentuk jaringan kerja untuk memperkeruh kondisi di Sumbawa. Langkah strategis yang disusun oleh kelompok anti Provinsi Sumbawa diantaranya :
1.. Gagalkan terwakilinya Etnis Sumbawa sebagai wakil rakyat di MPR-RI
Sampai saat ini wakil Kabupaten Sumbawa belum mendapat rekomendasi dari tingkat satu untuk menempatkan wakil dari Kabupaten Sumbawa di MPR-RI. Kenyataan ini merupakan kesengajaan dengan harapan pembentukan opini tingkat Nasional akan isue strategis Sumbawa tidak mendapat dukungan dari anggota perlemen di jakarta. Meskipun kita diambang penerapan otonomi, namun keputusan strategis daerah masih dipegang di tingkat Pusat, termasuk keinginan beberapa daerah untuk membentuk daerahnya menjadi provinsi yang berdiri sendiri.
2. Tampilkan Pemimpin Sumbawa yang memihak kepada Gubernur.
Realitas ini bukan hanya sebagai mimpi dalam perencanaan, namun sudah pada kenyataan yang sebenarnya. Bupati terpilih diharapkan menjadi Boneka Gubernur NTB, tanpa bisa menunjukkan kemandirian. Padahal diera penerapan Otonomi Kepala Daerah kabupaten harus bisa mandiri mengatur dirinya sendiri. Hal ini didukung akan keberadaan pertambangan yang menyumbang PAD terbesar bagi NTB. Harapan pasti pemimpin Sumbawa yang tampil tidak semaksimal mungkin memperjuangkan aspirasi etnis Sumbawa, namun masih dibawah bayangan penguasa tingkat pemprov.
3. Boikot Kegiatan Pertambangan Newmont Nusa Tenggara ( NNT )
Polemik dilingkar tambang semakin memanas. Tuntutan masyarakat lingkar tambang akan terlibatnya mereka dalam ketenagakerjaan NNT semakin ramai. Ditambah lagi dengan tuntutan pelanggaran PT. NNT akan pelanggaran masalah lingkungan semakin terekspose ketingkat Nasional. Satu kepincangan yang jelas-jelas terbukti baru - baru ini. Masyarakat lingkar tambang mengungkapkan pola provokasi kelompok tertentu dilingkar tambang agar mereka memboikot kegiatan PT.NNT. Sasaran yang ingin dipetik dari rencana ini yaitu agar Investor Asing yang masuk ke Sumbawa menarik diri dan membatalkan rencana investasi di tanah bertuah "Lembah Mineral" Samawa. Isue strategis dengan mengedepankan Newmont sebagai lahan provokasi dikarenakan NNT merupakan Multinational Company yang setiap saat di pantau oleh dunia International, terlebih lagi dalam bursa saham international. Gambaran akan kondisi NNT merupakan penelaian objective dari investor asing akan kondusif tidaknya suatu daerah, termasuk Sumbawa.
4. Gagalkan Pemihakan DPRD I yang akan pembentukan Provinsi Sumbawa
Skenario strategis yang akan dilaksanakan oleh kelompok anti Provinsi Sumbawa yaitu melobi anggota DPRD NTB supaya tidak memihak pembentukan provinsi Sumbawa. Hal ini adalah kewajaran, rekomendasi pembentukan propinsi baru akan tetap melewati DPRD I. Kenyataan ini juga berlangsung di Riau. DPRD I menolak kepuluan Riau menjadi provinsi yang berdiri sendiri. Padahal aspirasi akar rumput merupakan realita yang tak bisa di bendung bahwa kepulauan Riau bisa menjadi provinsi saat ini. Begitu juga dengan Sumbawa, kelompok tertentu dengan intensif akan tetap mengkampanyekan bahwa Sumbawa belum bisa mandiri menjadi Provinsi mandiri.
5. Timbulkan konflik Etnis di Pulau Sumbawa
Pulau Sumbawa didiami oleh dua etnis besar yaitu Samawa dan Mbojo. Kedua etnis ini mendiami pulau Sumbawa dengan kabupaten yang berbeda. Konflik antar etnis dengan mudah muncul kepermukaan seiring dengan menguatnya kepentingan masing-masing etnis akan Sumber Kekayaan Alam yang ada di daerah masing-masing. Issu yang dilontarkan, Sumbawa masih Sombong dengan Sumber Mineralnya, sedangkan etnis Mbojo mempunyai Sumber daya yang tak kalah bersaing yaitu Sumber Daya Manusianya yang Ulet. Kenyataan ini bisa menjadi pancingan yang mengasikkan bagi provokator untuk mengiring konflik diantara dua etnis tersebut. Akibatnya cita-cita kebersamaan untuk menunjukkan kemandirian akan gagal dengan hanya menguras energi berkonflik sesama etnis.

Hal tersebut diatas akan kembali menciutkan niat pembentukan propinsi pulau sumbawa yang sekarang sedang dikaji di DPR RI sesuai dengan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Walaupun DPRD NTB telah menyetujui keinginan masyarakat pulau sumbawa untuk berpisah dengan Propinsi NTB dan membentuk Propinsi Pulau Sumbawa. Namun Gubernur NTB, Drs. H. Lalu Sarinata masih enggan menandatangi keputusan tersebut dengan alasan masih menunggu hasil kajian Tim tekhnis PPS.
Pro kontro baik di tingkat elit politik, budayawan, akademisi serta masyarakat awam masih terjadi hingga saat ini. Padahal Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Banten, serta Maluku Tenggara yang belakangan mengusulkan pemekaran lebih dahulu terrealisasi. Hal ini dikarenakan tarik ulur kepentingan para elit. Sedangkan masyarakat bawah dibiarkan menunggu penuh harap. Persoalan ini adalah masalah harga diri bagi etnis Mbojo dan Samawa. Tempaan geografis yang keras dan panas membentuk watak warga. Kehawatiran bentrokan antar etnis diprediksikan terjadi apabila aspirasi masyarakat Mbojo dan samawa sejak tahun 2001 terabaikan.
Jika kita sama – sama memahami karakter masyarakat pulau sumbawa, maka tidak ada ubahnya seperti kejadian di Sulawesi Barat maupun peristiwa yang terjadi Maluku Utara baru-baru ini. Sebelum hal tersebut terjadi dan issu ditunggangi oleh pihak ke tiga yang hanya memanfaatkan situasi, maka pemerintah harus peka terhadap aspirasi masyarakat yang mulai mengkristal saat ini.
Dari pemahaman penulis diatas, kita dapat melihat setidaknya memprediksikan fenomena serta dinamika politik pemekaran wilayah di era otonomi daerah saat ini. Ada kecendrungan bahwa etnis maupun budaya dijadikan ’bola liar’ dalam perseteruan kursi kekuasaan. Pemekaran wilayah merupakan perebutan lahan jabatan yang basah. Atas ambisi tersebut, kesejahteraan masyarakat yang merata dijadikan jargon utama tanpa memadukan konsep estetika politik yang santun.
Kekhawatiran penulis adalah, apabila masyarakat telah jenuh dengan keadaan para elite yang berkecamuk atas berbagai kepentingan pribadi. Mengakibatkan pengkristalan kekecewaan masyarakat yang menjadikan masyarakat apatis dalam menilai setiap kebijakan pemerintah yang pada akhirnya berbuntut pada pengrusakan/ kerusuhan akibat ketidak puasan masyarakat yang selama ini di bodohi.
Dalam konflik ini, penulis menggambarkan bagaimana Andorra, sebuah dataran tinggi yang terletak diantara Spanyol dan Perancis secara menyakinkan pada tanggal 14 Maret 1993 mengesahkan sebuah referendum bagi kedaulatan mereka sebagai bangsa yang merdeka. Andorra yang luasnya hanya 453 Km2 (lebih kecil dari Singapura 581 Km2 dan Brunei Darussalam 6770 Km2) berpenduduk hanya 47,000 jiwa (1993) dan secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota PBB ke-148. Begitupula dunia menyaksikan Timor Leste melepaskan diri dari Indonesia melalui sebuah referendum yang kontroversial pada akhir Agustus 1999, demi sebuah harga diri (dignity) mereka sebagai bangsa sekaligus ingin bebas dari penindasan militer Indonesia selam 23 tahun. Eritria melepaskan diri dari Etiopia, Yugoslavia pecah menjadi empat negara baru, Uni Soviet pecah dengan cukup damai menjadi lima belas negara baru dan dalam proses untuk akhirnya menjadi enam puluh atau tujuh puluh negara baru. Jhon Naisbitt seorang futurolog terkemuka mempridiksikan tiga negara yang sangat potensial untuk pecah, Yugoslavia, Uni Soviet dan Indonesia. Dua telah terbukti, Indonesia tinggal menunggu waktu? Tuntutan Aceh dan Papua merdeka yang diperlakukan tidak adil oleh Jakarta merupakan sinyalemen dan warning untuk tidak dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia.
Shakespare menyatakan “Small is Beautiful” lebih kecil itu lebih gesit, lebih inovatif dan lebih efesien karena besar cenderung tidak efisian, mahal, birokrasi yang boros, tidak fleksibel dan mendatangkan bencana.
Sudah saatnya bagi seluruh elemen masyarakat Sumbawa baik yang berada di Pulau Sumbawa maupun di perantauan untuk memberikan perhatian pada Pulau Sumbawa. Pulau yang selama ini terlantar dan termajinalkan (baca : tidak diperhitungkan) secara sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam konstelasi regional maupun nasional.
Sebuah langkah penting harus segera dilakukan untuk meminimalisasikan aksi-aksi yang merugikan masyarakat itu sendiri pada khususnya dan pembangunan indonesia pada umumnya. Keadaan yang kondusif, pemerintah yang berwibawah serta persoalan yang dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat harus segera ditempuh. Dalam pra konflik maupun konflik yang sedang terjadi di Nusa Tenggara Barat, akhir-akhir ini maka ada 2 hal yang perlu untuk segera diambil langkah penting yaitu :
1. Bagaimana agar NTB tidak pecah? Hal tersebut sangat bergantung pada bagaimana para elite membagi kekuasaan. Kita bisa mencontohkan, ketika seorang gubernur berasal dari etnis tertentu, etnis lain mesti menerima dengan perhatian serius. Jika pada jabatan di pemerintah daerah tidak memungkinkan, sharing pada jabatan-jabatan strategis pada departemen yang cukup menjawab menyatunya perasaan masyarakat NTB. Sebaliknya jika tidak diakomodasi, besar kemungkinan untuk membangun polarisasi dalam masyarakat.
2. Marginalisasi terhadap etnis tertentu dalam struktur pemerintahan harus ditekan. Pembagian yang ideal antar etnis tidak harus mengabaikan kemampuan individu bersangkutan, melainkan tetap berdasarkan kriteria kemampuan. Dengan cara begini, konflik akan berhasil di-manage dengan baik. pembagian kekuasaan dalam era otonomi sudah memungkinkan. DPRD bisa melakukan itu. Tidak harus menunggu sebagai negara federal. Sebagai contoh gubernur orang Bima, wagub orang Sasak. Kaderisasi kemudian dilakukan di tingkat bawah untuk calon gubernur berikutnya. Komunikasi politik pun bisa melahirkan gubernur secara bergiliran berdasarkan etnis.
Marilah berpikir secara rasionalitas, siapapun yang manaruh perhatian besar terhadap perjuangan rakyat Sumbawa, mengapa tidak bisa bekerjasama. Apalah artinya sebuah identitas etnis jika pribadi tersebut tidak bisa memperjuangkan kepentingan Sumbawa baik ditingkat Lokal maupun nasional. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah kerja lapangan bukan sebuah slogan yang hanya digemborkan tanpa hasil yang jelas. Jalan keluar yang pasti dari persoalan tersebut adalah memaksimal potensi Pulau Sumbawa dan mendorong perjuangan dalam mensukseskan pembentukan kabupaten Lombok Utara dan Kota Selong.

(Mohon Ditanggapi serius karena hal ini sangat riskan dalam menuju konflik etnis di Pulau Sumbawa. sebab Pilgub NTB adalah target, Pilpres 2009 adalah sasaran)

0 comments:

Posting Komentar

untuk acuan saya dalam mengelola content blog ini saya ucapkan terima kasih atas komentar anda

Personal Blog Copyright © 2011 | Template by Premium Template | Powered by Blogger