Media untuk berbagi informasi terkini, terbaru hari ini....

Tentang Tatapan

----- Pesan Asli ----
Dari: Uba Mboj
Kepada: bimacenter@yahoogro ups.com
Terkirim: Jumat, 30 Mei, 2008 00:37:06
Topik: Re: Balasan: [bimacenter] Re: Tentang Tatapan (Was: caru poda ede kamanae...., iya-iya-iya. .......... ..)
assalamu'alaikum warahmatullah sa'e mena....
bune habae...mboto kangampu ampo wara walai nggahi ro eli aka mail akeke...awi didina wara lao kai aka dunia makalai :)
ala ruma...nuntusi mantiri ro marombo sa'e menae. pai ma mai ara kota pelajar nggahi dou ruanake nawa'ura ndadi kota para pela*******r (sory seonsor:)) saniki pado ncai wa'ura ndadi kafe ro hidi doho nongkrong kai sadoho ma mai sakola aka rasa douke, wi kacualina cina ro angi ndai ese rasaka ma mai ara rasa dou ake ra nggaduba douma tuana di ma mai weha ilimu wa'ura ndadi douma metropolis dan style ma ncewi, tiwara piti sepe piti lenga di lao kai aka club (diskotik), ti wara honda kani honda dou di laokai gande siwe ato mone, ti wara ngaha lao ngaha aka uma dou siwe ra ne'e kaina, ira rumaeeeeeeeee au ku di nggahi la'o kaike kamanaeeeeee. ...
sa'e menae... fiki wa'upu tolu ratu kali kalo warasi ari to'i to'i ita doho di kau mai ara kota pelajar nggahi douke, fiki kapoda wa'upu au ihana ro au tahona, watisipu wara isi loko ro isi adena aina kau mai sa'e, ma sinci ademu pedere....
sa'eku ka janah.....
nawancuku caruna edaku di hanta aka cerpen atau au-au kombi masalah au ra tunti ba itare....bune kak janah....... .
heheheh
o ya....web e-commerce ru'u perhiasan tanah bima samporo wali ndadi...
warasi ide di ru'u web ede santabeta nggadu aka ubambojo@yahoo. com
tarima kasih cina ro angie

Masalah Pelajar yang kuliah diluar kampung halaman

rangga mandolo Asalamu'alaikum UBA....

Inae ubae..... na ncoki poda ku pala ade mu eda ruku ari to to'i malao sakola aka kota pelajar re, inae napoda si nuntu uba ake bunepa ndadi kaina generasi ese rasa malao sakolah di rasa dou aka ni, pai re dou matua ro dou di dahu menakaina ro dou di kade'e wea nggahina ma ari toi ede lao lamba tio lampa rawi ana dohona ede ni sakali sakali re. aina co'o bune sara wele aka, rakasi ba mbisa ai na watiru wa'u ti coco batu kamanae.
Ede pahuna ntuwu tio ru komunikasi la'o ana malao sakolah di rasa dou ka, aina mbei ngala poda walaupun do'o di tio ru lamba. wati wa'u ba baca do'a waura si nede na, ma'lum kancilo dunia re waura bune mas 22 karat aka, na pengaruh mena angi na re sama to'i mena ne, madabade bore pupu ese rasa ka tei ra bore pupu, madabade kani lipstik combi ede tei ra kani lipstik, madabade pasole re tei ru pasole ro hidi macaru di pasole kai. ede ma'lum sama to'i mena kaina re mboto ma coba-coa ro wento eda mori ma nede aka rasa dou aka.
Combi loasi wara ide uba re kaboro mena weki sama to'i minimal satu kampung ese rasa ka di cua ngoa angi menakai, bila perlu sakali-sakali re bikin acara pengajian bersama, atau acara apa aja lah yang bermanfaat dan mendidik....

Terimakasih uba lembo ade

Wassalam
Aba Jelo


Tentang Tatapan

Dari: Badar Sape
Kepada: bimacenter@yahoogro ups.com
Terkirim: Sabtu, 31 Mei, 2008 04:08:16
Topik: Re: Bls: Balasan: [bimacenter] Re: Tentang Tatapan (Was: caru poda ede kamanae...., iya-iya-iya. .......... ..)

Saya sangat sepakat seperti yang dikatakan ma uba mbojo, bahwa akhir2 ini kecenderungan dari ori to'i mbojo yg pergi kuliah di dana ro rasa dou, sudah kehilangan orientasinya walaupun tidak semuanya seperti yg dikatakan oleh cina ndaita fadli. tetapi kalo dilihat dari prosentasenya, yg bener2 serius kuliah sangat kecil sekali. Kenapa bisa terjadi seperti ini? ada beberapa hal yg mempengaruhi disorientasi kuliah ori to'i2 ndaita di rasa dou:
1. masalah ini tidak bisa kita salahkan orangtua ndaita. Kita harus akui bahwa rata2 dou matua ndaita ese mai rasa re, indokone wara ma sakolah tantu ntoi na re, tetapi cakrawala berpikir mereka sangat jauh, kita harusnya sangat berterima kasih karena mereka memiliki semangat yang kuat ingin merubah nasib ndaita untuk menjadi taho ra na'e dengan mbeina kesempatan ndaita untuk sakolah, sehingga na rela kone mpoi dana ra tolo sahe ra jara na hanya untuk membiayai sakolah ntaita.
2. Kita juga harus akui (ini berdasarkan pengalaman pribadi la mada), begitu pertama datang ke Malang dulu, saya tidak tau sama sekali, saya akan kuliah apa. dan yang lebih udik lagi, maklumlah dou desa ampoda tonda kota, dan saya yakin cina ro angi dan ari to'i2 ntaita juga ampoda iu tonda kota ketika pertama kali pergi kuliah. Ketersediaan fasilitas yang serba wah (bila dibandingkan dengan desa masuknya) inilah yang membuat mata kita menjadi silau.. dengan melihat kenyataan ini, maka peran sa'e ndaita yang lebih dulu berada di kota itu yang lebih dominan untuk mengarahkan buat ari to'i2 na yang baru datang. Karena kecenderungan ndaita dou mbojo terutama yg baru datang kuliah, senior2 itulah yang akan dijadikan panutan dan menjadi saudara ketika do'o labo dou matua dan dana ro rasa.
Nah yang terjadi sekarang ini seperti yang diamati oleh uba mbojo itu, karena sudah tidak ada laginya yang bisa dijadikan panutan dan disegani. ada sih yang disegani tetapi rata2 gak ada yang serius untuk kuliah, akibatnya ari toto'i yang baru datang ikut2an.
3. Sistem perkuliahan juga yang terjadi di Indonesia umumnya akhir2 ini sudah semakin longgar, tidak lagi seketat jaman ma ntoina, akibatnya semangat kuliah menjadi lemah. ditengah lemahnya semangat kuliah inilah muncul goda'an2 laen yang semakin kuat, akibatnya kalo kita lengah justru akan menjemuruskan kita. bayangkan saja Ijazah sekarang sudah bisa dibeli, tanpa kuliahpun, dengan dibayar sekian juta sudah bisa tuh dapat ijazah..
4. Kurangnya lapangan pekerjaan akhir2 ini sehingga yang telah jadi sarjana banyak yang nganggur juga akan berakibat motivasi dan kompetitif dalam kuliah semakin menurun.

Kombi sandede wa'umpa ke, mboto2 kangampu cewi ra kura na


Inilah Perkembangan Kota Bima Sekarang




KADO POLITIK DI HARI PENDIDIKAN NASIONAL KOTA BIMA

KADO POLITIK DI HARI PENDIDIKAN NASIONAL KOTA BIMA
Oleh : Rangga
Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar)
diambil dari milist bima center


Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang bertepatan pada tanggal 2 Mei telah terliwati. Berbagai acara seremonial dilakukan untuk memperingati Hardiknas tersebut. Di Nganjuk Jawa Timur, Hardiknas diperingati dengan cara Sungkeman antara Guru/mantan guru dengan para siswa/mantan siswa. Di Jakarta, Hardiknas dimeriahkan dengan aksi para Guru kontrak dan Guru Honor se pulau Jawa. Di Kota Pare-Pare Sulawesi Selatan, Hardiknas diwarnai dengan Aksi demonstrasi ribuan pelajar SLTP dan SLTA sesaat setelah Upacara Hardiknas. Berbeda halnya yang terjadi di Kota Bima. Hardiknas disuguhi kado politik. Sesaat setelah Upacara dalam memperingati Hardiknas, warga kota Bima mengerumuni sekertariat baru DPRD Kota Bima untuk menyaksikan secara langsung acara penyampaian visi misi kandidat calon wakil dan walikota Bima..

Pada hari yang sama pula, Wakil Walikota Bima mengambil alih tampuk pimpinan kota Bima karena terhitung mulai tanggal 2 Mei Walikota Bima Noer Latif, melakukan Cuti Kampanye Sebagai uncumbent calon walikota periode ke-II (2008-2013). Mulai 2 – 15 Mei 2008 KPU Kota Bima menetapkan sebagai hari kampanye para paket calon walikota Bima. Sedangkan pada tanggal 5 – 8 Mei Adalah UAN bagi siswa SLTP/MTs dan terhitung mulai 2 – 12 Mei adalah minggu tenang bagi pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional (UAS BN) SD/MI. Yang kemudian pada tanggal 13 – 15 Mei baru dilaksanakan UAS BN. Pada hari yang sama (2 Mei 2008) beberapa perwakilan Guru Honorer, Guru Bantu serta Guru Sukurela Kota Bima berangkat Ke Mataram untuk mempertanyakan Dana Tunjangan professional Guru sebesar 20% oleh pemerintah Kota Bima yang belum dibayarkan terhitung sejak januari 2007.

Persoalan tenaga Pendidik di Kota Bima telah lama berpolemik. Pada tahun 2006 yang lalu sekitar 500 Guru Honor serta guru sukarela se-Kota Bima melakukan aksi digedung walikota Bima menuntut pembayaran Gaji yang belum dibayarkan selama 6 (enam) bulan. Aksi yang dimotori oleh Forum Komunikasi Guru Honor Kota Bima (FKGH Kobi) tersebut dijawab oleh Wakil walikota Bima dengan kalimat “…Siapa suruh jadi Guru Honor…” (Bimeks, 7/06) Hal tersebut memicu aksi berbagai element Masyarakat dan lembaga Mahasiswa lainnya. Aksi serupa terulang pada bulan Agustus 2007, menuntut kejelasan kerja / fungsi Guru Honorer kota Bima karena mereka (baca; FKGH Kobi) bertugas melebihi jam yang ditentutkan.. Hal tersebut dikarenakan Guru PNS sering memanfaatkan tenaga mereka untuk mengganti tugas guru PNS tersebut tanpa ada tunjangan apapun. Namun jika ada kesalahan, Guru Honorer lah yang menjadi ‘kambing hitam’.

Pada tahun 2008 ini masyarakat Kota Bima dihadapkan pada 2 hal yang sangat sensitive, yaitu mensukseskan Pilkada Kota Bima dengan aman dan damai. Serta mensukseskan pelaksanaan Ujian Nasional SMP/MTs, SD/MI dan Ujian Akhir Smester Bertaraf Nasional (UAS BN) yang tentunya moment tanggal 2 Mei dimanfaatkan untuk mendorong maksimalisasi Tenaga Pendidik (Guru) secara optimal untuk konsent terhadap UAN dan UAS BN, tidak terpengaruh dengan dinamika Politik kota Bima yang kian memanas.

Tanggungjawab Tenaga pendidik baik yang Honorer, sukarela maupun PNS cukup besar ditahun ini ditengah persoalan Ekonomi serta kesejahteraan guru yang sedang melilit. Selain mengarahkan siswa agar tidak terkontminasi oleh dinamika politik, juga bertanggungjawab terhadap keberhasilan para siswa dalam pelaksanaan UAN/UAS BN ditengah peringkat IPM NTB yang ke 32, terendah setelah Irian Jaya. Beban tugas yang cukup berat secara social, politik dan ekonomi sang guru.

Persoalan Siswa menjelang peringatan 100 tahun Hardiknas di Kota Bima cukup menumpuk, pada pertengahan bulan lalu (April 2008) terjadi tawuran antara siswa SLTPN 2 VS MTsN Kota Bima, kasus tersebut menjerat sekitar 20 Siswa pada 2 sekolah tersebut. Fenomena adegan Porno pada HP siswa yang terjaring pada operasi HP oleh Sat Pol PP di 8 SLTP/MTsN di Kota Bima pada Januari 2008, didapati hamper 70 HP yang berisi Film Blue. Perkelahian pelajar adalah kasus tertinggi yang ditangani oleh Polresta Kota Bima selama pertengahan 2007 – awal 2008 ini.

Polemic 6 SDN yang bertaraf Internasional di Kota Bima hingga sekarang masih berlangsung. Syarat Kepala Sekolah SDN Internasional yang harus mampu berbahasa Inggris aktif dan pasif serta harus mampu menguasai ilmu Komputer belum bisa terpenuhi, Kompetensi Tenaga Pendidik belum memenuhi syarat. Masalah baru kemudian muncul yaitu, lulusan SDN yang bertaraf Internasional tidak sepenuhnya dapat diterima di SLTP bertaraf internasional. Sebab dikota Bima SLTP yang bertaraf Internasional hanya 1 (satu) sekolah saja. Dilain sisi, ada perbedaan biaya yang harus dibayarkankan orang tua siswa yang bersekolah di SDN yang bertaraf Internasional dan SDN pada umumnya. Dari hal itu, para orang tua siswa menuntut anaknya untuk bisa masuk di SLTP yang bertaraf Internasional pula.

Sertifikasi Guru khususnya di Kota Bima mendapat kritikan dari berbagai tenaga pendidik dan ormas dikota Bima. Ada kesan, seminar yang berkaitan dengan dunia pendidikan yang dilaksanakan dikota Bima dalam tahun-tahun terakhir di proyek kan. Hal ini terlihat dari pelaksaan dilapangan. Guru-guru terpaksa ikut untuk memperoleh point sebagai syarat dalam sertifikasi guru. Selain itu ada biaya tertentu yang harus dibayarkan oleh peserta seminar yang tidak kurang dari Rp 100.000 setiap kali seminar / peserta. Dilain sisi, yang diperbolehkan untuk ikut seminar adalah guru yang sudah PNS. Sehingga terkesan sangat diskriminasi.

Konstelasi kanca perpolitikan di Kota Bima memiliki pengaruh yang besar terhadap dunia pendidikan di Kota Bima. Hal ini nampak dari konvoi kendaraan maupun kampanye yang dilakukan oleh para calon kandidat wali dan wawali kota Bima. Panwaslu menyemprot para kandidat yang melakukan kampanye pada hari sabtu dan minggu (4 – 5 mei 2008) kemarin. Indikasi black campage dan mengikutsertakan anak dibawah umur yang tentunya termasuk para siswa SLTP/MTs serta SD/MI untuk ikut kampanye serta konvoi kandidat.

Saya teringat pernyataan Presiden Komisaris TVRI Pusat, H Hazairin Sitepu dalam Seminar Nasional "Peran Politik dalam Dunia Pendidikan" yang berlangsung di Hall Convention Graha Pena Fajar, Minggu, 4 Mei. Beliau menegaskan bahwa Peran politik pada dunia pendidikan diperlukan sebatas hanya untuk pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur pendidikan itu sendiri.. Namun peran politik tidak boleh sampai menyentuh hal-hal operasional, misalnya kurikulum pendidikan yang diorientasikan demi kepentingan politik. Dari pernyataan tersebut, terkesan bahwa Pilkada kota Bima hari ini menjadikan pendidikan adalah primadona dalam pilkada, padahal tidak satupun program yang ditawarkan para kandidat menyangkut substansi pendidikan itu sendiri.

Mengenai Pendidikan Gratis yang ditawarkan oleh salah satu kandidat Calon Wali/Wawali Kota Bima hanya menyentuh pada biaya, sedangkan pada sisi peningkatan mutu pemberdayaan tenaga pendidik maupun pelajar tidak mengena sama sekali.

Ditengah carut marut perpolitikan Dana Mbojo hari ini, mampukah para siswa yang telah mengikuti UN serta UAS BN SLTA/MA, SLTP/MTs serta SD/MI menggenjot citra pendidikan kota Bima melalui hasil yang membanggakan? Dengan berbagai program pemerintah tentang pendidikan yang berkualitas dan bermutu menjawab teriakan para tenaga pendidikan tentang pembayaran tunjangan fungsional yang telah 16 bulan belum terbayarkan sama sekali oleh pemerintah Kota Bima? Dapatkah system perpolitikan kota Bima mengibarkan ‘bendera’ kesejahteraan bagi para tenaga pendidik yang nota bene Kota Bima adalah satu-satunya daerah di NTB yang telah mengimplementasikan amanah UU tentang 20% anggaran pendidikan? Mari bersama-sama kita tunggu kaidah dan manfaat perpolitikan kota Bima yang sedang berlangsung sebagai kado istimewa Hardiknas Kota Bima pada tahun ini. Kok saya pesimis…..? Wallahualam

Pemikiran Yang Di Stigmakan


Oleh; Muhammad Noval*

Tulisan ini berawal dari sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun yang silam ketika itu terjadi pembakaran maupun sweping terhadap buku-buku yang terasa berbau kiri karena dianggap atau diidentikkan dengan komunisme apalagi kalau sebuah negara itu telah mengalami ‘luka’ akibat komunis maka akan sangat mudah isu itu dimasukkan dan berkembang seperti hal nya di Indonesia. Sebenarnya ada apa sih dengan pemikiran yang kiri itu distigmakan sosialis?
Istilah ‘kiri’ sebenarnya menjadi hal yang biasa dalam perbincangan kita karena kiri sudah menjadi kebiasaan kita sekaligus sudah menjadi kesepakatan untuk membedakan dengan yang sebelah ‘kanan’, dan ada juga yang mengatakan kalau kiri itu jahat dan kanan itu baik. Namun ketika term ‘kiri’ dimasukkan dalam ranah pemikirin akan menjadi hal yang sangat luar biasa sekali yang selalu identik dengan anti kemapanan, tidak saja itu karena pemikiran ‘kiri’ ini juga menyimpan gagasan-gagasan besar yang sangat menantang, melawan, sekaligus ‘merusak’ setiap tradisi yang sudah dianggap ‘mapan’ (establisment) dan bahkan bermunculan ide-ide besar yang mampu merubah keadaan.
Dalam lintas sejarah term ‘kiri’ ini acap kali di identikkan atau ditimpakan kepada segala hal pemikiran dan gerakan sosial yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan yang dominan. Dan lebih menarik lagi term ini akan menjadi ‘hantu’ ketika dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol-simbol ‘revolusi’ sebagaimana Sosialisme, Marxisme, serta Komunisme. Sehingga dalam ruang kesadaran kita pun sudah terlanjur melembagakan stigmatisasi atas term kiri ini sebagai sosialis, jadi tidak salah kalau tahun yang silam itu terjadi pembakaran buku yang berbau kekirian sebab saat itu di Indonesia masih tersisa luka akan komunis pada orde lama atau yang sering disebut G30 S PKI namun satu hal yang sangat disayangkan sekali seperti yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno “fenomena membakar buku tersebut adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran-pikiran yang tidak mampu dilawan secara pikiran , utamanya pada abad ke-20. Model ini sering kali digunakan serta menjadi ciri khas dari Fasisme dan Nazisme, fenomena tersebut disamping menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk model pemikiran, juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminologi ‘kiri’ ini ”.
Dan ini terbukti sekali dalam tatanan masyarakat sekarang kita (masyarakat Indonesia) terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah, bahwa setiap pemikiran yang terasa berbeda dengan arus utama atau mainstream yang berkembang saat itu selalu dianggap model pemikiran ‘kiri’. Dan lebih parahnya ‘kiri’ dalam hal ini selalu di identikkan dengan komunisme. Padahal wacana ‘kiri’ senantiasa untuk selalu bergerak dalam wilayah sosial dan pemikirannya senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang ‘nakal’ untuk menghancurkan segala hal yang berbau kemapanan, terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme moderen. Nah dengan adanya pemikiran ini akan seharusnya kita bisa berpikir sebenarnya ada apa dengan kemapanan itu dan kenapa pemikiran ‘kiri’ ini harus dimusuhi? Seperti yang ditulis oleh Listiyono “bisa jadi kemapanan termasuk kemapanan pengetahuan memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekadar mempertahankan kemapanan tersebut. Pembongkaran atas situasi ‘mapan’ dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan ‘kiri’, terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah ideologi-ideologi .”
Sebenarnya pemikiran dan gerakan ‘kiri’ lebih diletakkan dalam pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung dinomorsatukan sebagai kemapanan formal, dan pada saat yang bersamaan ia akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan. Dengan demikian perspektif ‘kiri’ dalam hal ini sekedar membongkar asumsi dasar dari sebuah epistemologi penyusun sebuah pengetahuan, karena jangan-jangan pada setiap kemapanan pengetahuan itu sesungguhnya bersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran itu. Dan sudah jelas sekali pembongkaran seperti ini akan ‘membahayakan’ kekuasaan. Maka tidak heran kalau pada 5 tahun silam itu terjadi pembumi hangusan buku yang berbau ‘kiri’ itu yang sebenarnya ini tidak harus terjadi karena “Hasil Pemikiran ‘Kiri’ VS Anarkis” pasti pemikiran akan hilang dengan sendirinya kalau memang pemikiran ‘kiri’ itu dianggap salah atau pun menyimpang seharusnya yang terjadi adalah dialetika yang baik bukan gerakan naif, inilah hal yang sangat disayangkan seperti apa yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno diatas.
Munculnya term ‘kiri’ pada dasarnya tidak terlepas dari persoalan bahasa, karena sudah jelas dalam beberapa dekade terminologi ‘kiri’ menjadi momok serius dalam konstelasi pemikiran bahkan dulu untuk mendapatkan buku yang dianggap ‘kiri’ akan sangat sulit sekali dan kalaupun toh kita mendapatkan pasti sangat minim sekali seperti apa yang diungkapkan oleh Andi Muawiyah “untuk membaca buku karl marx saya harus sembunyi-sembunyi dan selesai membaca langsung disembunyikan lagi” ini menunjukkan betapa sulitnya untuk mempelajari hal-hal yang sudah dianggap keluar dari hal-hal yang sudah dimapankan menyimpang dari aturan. Kita tidak akan tahu siapa yang menghembuskan terminologi ini. Sehingga telah terkonstruk dalam pemikiran manusia yang selalu terbentuk dalam dua oposisi binner yang akan saling berhadapan seperti yang diungkapakan oleh Ferdinand “bahwa kiri harus selalu dihadapan dengan kanan, dimanapun, kapanpun serta dalam situasi apapun”. Dengan munculnya dua oposisi binner ini menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sampai melembaga dalam ruang kesadaran sehingga pola pikir yang terbentuk adalah pola berpikir yang dikotomis artinya dalam proses berpikirpun manusia acapkali memberikan identitas tertentu sebagai pembeda, yang ironisnya selalu dibenturkan sebenarnya pada dasarnya ini adalah suatu permainan bahasa yang merasa ketakutan hasil pemikirannya ataupun kekuasaannya akan diambil alih maupun disingkirkan sehingga wacana yang terbangun adalah setiap yang berbeda selalu dianggap sebagai ‘lawan’ yang mestinya dilenyapkan dan tentu saja dengan ‘bumbu-bumbu’ negatif atas pola pikir yang berbeda tersebut. Tujuan dari ini semua adalah bagaimana pola pikir yang berbeda dibebani dengan sejumlah stigmatis dan menggiringnya kepojok kesadaran manusia agar tidak dipelajari dan atau tidak dikenal orang, yang pada akhirnya terciptalah situasi-situasi dimana manusia digiring untuk (latah) menerimanya sebagai kesalahan sebuah pemikiran dan endingnya makin kokohlah ‘kekuasaan’ maupun ‘pemikiran’ yang telah dimapankan. Kelihatan sekali bagaimana bahasa itu dipergunakan sebagai alat propaganda untuk meligitimasi sebuah kekuasaan maupun pengetahuan, seperti apa yang diungkapkan oleh Ariel Hariyanto “bahasa merupakan suatu kegiatan sosial” karena dari sini terlihat bagaimana bahasa itu senantiasa membentuk subyek-subyek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu, atau dengan bahasa lainnya bahasa merupakan ruang bagi pergelaran kuasa-kuasa tertentu. Sehingga terbentuknya binner seperti “kanan” dan “kiri” adalah cerminan dari kekuatan pencipta bahasa dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya.
Tokoh-tokoh yang sering dicap kiri adalah seperti Karl Marx, Nietzsche, Gramsci, paulo freire, jurgen habermas, dll selain dari para tokoh barat ini dari tokoh pemikir islam pun ada yang di cap ‘kiri’ oleh jamannya seperti Muhammad Arkound, Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer. Apakah yang menyebabkan orang-orang ini di cap sebagai tokoh ‘kiri’?
Karl Marx tokoh yang satu ini sangat terkenal dengan Materialisme Dialektis dan Historis yang merupakan suatu pemahaman bahwa dunia selalu berada dalam proses perkembangan yang dialektis yakni penerimaan dan penolakan. Jadi pengetahuan manusia yang muncul dari proses dialektis adalah benar jika dipahami dengan kerangka hubungan antara setiap kejadian dalam dunia yang nyata. Dari hal ini muncul suatu pemahaman bahwa kenyataan memunculkan kesadaran manusia. Hal ini berarti memunculkan pengetahuan sebagai salah satu bentuk kesadaran. Jadi dalam proses dialektis ini terkandung unsur-unsur yang saling bernegasi. Dalam pemikiran yang lain tentang perjuangan kelas karl marx selalu melakukan perlawanan terhadap mereka para borjuis dari sini karl marx berusaha untuk mengangkat para kaum buruh / proletar. Selain Karl Marx kita juga akan melihat bagaimana Nietzche melakukan dekontruksi atas kemapanan akal dan juga kehendak untuk berkuasa, pemikiran Nietzche ini mengejewantahkan bahwa manusia itu akan menjadi agung jika memadukan secara harmonis dari tiga hal yaitu; kekuatan, kecerdesan dan kebanggaan. Nietzsche adalah seorang Vitalis dan Nihilisme namun vitalisme disini mengandung makna semangat hidup. Menurut dia manusia itu agung asal mau menjulangkan semangat hidup dan gairah setinggi-tingginya, untuk itu manusia harus bebas dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai tradisional yang telah membelenggu potensi kemanusiaannya. Seorang filsuf kiri yang sangat berkonsentrasi dalam bidang pendidikan adalah Paulo Freire dengan Pendidikan Tertindas dia memunculkan berbagai kesadaran baru untuk melawan berbagai ketertindasan secara edukatif dengan berpijak pada kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Paulo freire sangat intens sekali dalam memperjuangkan kebebasan bagi orang-orang termiskin dari yang miskin. Paulo freira pun bahkan telah sukses menarik minat warga yang buta huruf untuk belajar dan menulis dalam waktu yang singkat yaiut 30 menit. Selain tokoh barat ada dua tokoh islam yang di cap kiri yaitu Mohammad Arkoun yang melakukan rekontruksi terhadap Al-Qur’an dengan nalar kritis. Nah kalau dilihat dari ini sebenarnya kemauan dari Muhammad arkoun adalah bagaimana agar orang-orang yang melakukan interpretasi terhadap al-quran itu tidak salah atau salah kaprah sehingga pesan yang terkandung didalamnya tidak melenceng jauh, menurut Arkoun “teks al-quran telah banyak melahirkan literature tafsir, interpretasi, sepanjang sekian abad sejak kelahirannya sampai dengan sekarang, tumpukan tafsir itu di ibaratkan menyerupai lapisan-lapisan geologis pada bumi, yang satu berada diatas yang lainnya sehingga sangat sulit untuk menembus keperistiwa pembentukan pertama (al-hadas alta’sisiyyu al awwl) dalam keadaan yang masih segar dan kaya, kecuali jika telah dibongkar lapisan-lapisan geologis yang pejal yang tak lain adalah literature tafsir yang menjadi penghalang pemandangan. Jika gagal untuk mengetahui sebagaimana adanya, maka yang diketahui adalah hanya sebatas citraan-citraan yang terefleksi darinya.” Bahkan pendapat arkoun yang sangat terasa controversial sekali adalah iamengatakan “bahwa dalam tafsir islam dengan segala macam mazhab serta alirannya, sesungguhnya Al-Qur'an hanya merupakan ‘alat’ untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur'an itu sendiri dengan begitu semua tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri.” Arkoun pun mengkritik tradisi ortodoks yang didominasi oleh logosentrisme selain itu dia juga mengkritik dunia mitos yang terlahir dari visi masa lalu yang eksklusiv. Selanjutnya Hasan Hanafi seorang tokoh yang mempelopori teori Oksidentalisme sebagai lawan dari Orientalisme dan dia juga yang menggagaskan Kiri Islam, dari studi Oksidentalisnya inilah Hasan Hanafi berusaha “menelanjangi” sekaligus membongkar hegemoni barat atas dunia islam. Karena westernisasi telah membuat dunia timur (Islam) bagai berjalan diatas “dua kaki yang berbeda”. Berawal dari sini dia mempelopori Oksidentalisme untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap ruang kesadaran peradaban Timur, karena selama ini dunia Timur dijadikan sebagai bahan objek kajian bagi dunia barat sebagaimana dikenal dengan Orientalisme.
Ini hanyalah sebagian kecil orang-orang yang dicap ‘kiri’ tapi sebenarnya masih ada banyak tokoh-tokoh kiri yang terus melakukan resintensi terhadap segala bentuk pengetahuan maupun kekuasaan yang telah di mapankan dan karena pemikiran ‘kiri’ ini dianggap berbahaya maka berbagai upaya mereka lakukan untuk menghilangkan sisa pemikiran kiri ini. Dan salah satu yang pernah terjadi pada tahun lalu atas pembakaran buku itu merupakan suatu bukti bahwa pemikiran kiri ini memang ingin dilenyap dari permukaan ini? TANYA KENAPA?
Nah sebagai seorang mahasiswa anda tahu apa yang harus anda lakukan karena jangan-jangan sesuatu yang dimapankan itu memuat berbagai kepentingan!!



Penulis adalah Co. Dirjen Advokasi BEM-F Saintek 2006-2007
dan Co. Gerakan PMII rayon “pencerahan” Galileo 2006-2007.
Kader PM11 rayon “pencerahan” Galileo.

Demokrasi Alat Indera???


Oleh; noval_mandolo*


"Mereka yang meminta demokrasi – dan bersedia mati untuk itu – dari manakah mereka menangkap ilham? Setidaknya dicina, atau di chili, di iran atau di singapura, di indonesia atau di korea, selalu ada orang yang dengan cemas maupun gemas memandang anak muda yang meminta demokrasi, : "kalian mau kebebasan? Kalian mau barat? Mau hal yang imitasi? Dan kecaman pun ditembakkan atau tentara dikirim, bayonet dihunus dan peliru dilepaskan.
Kita kaget. Kita sedih. Kita tak menduga bahwa pembantaian seperti itu bisa terjadi. Kita semua tidak membayangkan bahwa sekejam itukah perlawanan yang dilakukan bagi mereka yang selalu meneriakan sebuah demokrasi dan selalu memperjuangkan demokrasi yang akhir mereka dibalas dengan pembunuhan yang sangat kejam, kita lihat dicina pembantaian ribuan mahasiswa pro—demokrasi oleh pemerintah komunis dilapangan Tiannamen. Mengapa demokrasi harus dilawan dengan kekuasaan yang bertopang senjata" ??? (goenawan muhammad)

Sedikit pengantar dari goenawan muhammad diatas bisa membawa kita untuk berpikir bahwa nilai perjuangan sebuah demokrasi sangatlah mahal dan itupun harus dibalas dengan kematian yang sangat kejam. Lantas bagaimanakah dengan proses demokrasi di Indonesia? Perubahan politik sebagai akibat runtuhnya rezim komunisme dan perkembangan ekonomi internasional telah membawa perubahan yang sangat fundamental dalam tatanan kehidupan politik dunia. Isyu tentang hak asasi, demokrasi bersama lingkungan hidup mencuat kepermukaan. Negara-negara maju seperti amerika dan sekutunya membuat kebijaksanaan baru dengan mengkaitkan bantuan yang sangat dibutuhkan dunia ketiga dengan kondisi hak asasi dan demokrasi dinegara yang bersangkutan. Inilah proses awal menyebarnya isyu demokrasi termasuk sudah masuk di Indonesia.
Sekarang kita kembali lagi kepermasalahan yaitu demokratisasi alat indera, ternyata demokratisasi yang terjadi sekarang ini di Indonesia hanya baru pada tahap mulut saja sedangkan demokratisasi alat indera yang lain belum terjamah ataupun belum bisa dilaksanakan seperti kuping inilah alat indera yang sangat vital sekali disamping mulut. Nyerocos sampai tahap pengkritikan sudah mulai lancar terlihat diberbagai belahan aspek kehidupan ini namun terkadang kalau kita mendengarkan kritikan sering membuat hati kita hampir jatuh, was-was, dongkol, bahkan membuat kita naik pitam yang akhirnya menimbulkan suatu perbuatan yang sampai itu bisa menghilangkan nyawa orang lain inilah fenomena yang terjadi sekarang ini dan itu terjadi dijaman dahulu tepatnya dicina seperti apa yang telah diungkapkan oleh seorang penulis maupun wartawan suatu surat kabar diatas dan mungkin akan sampai kiamat nanti.!!!
Dibandingkan dengan zaman orde baru sebetulnya keadaan ini sudah jauh dari lumayan. Dimasa itu demokrasi kita hampir dipenuhi dengan sosok-sosok tunawicara dan tunarungu tidak bisa mengkritik dan tidak bisa memberikan masukan. Sekarang ini setidaknya kita sudah mulai bisa berbicara dan dengar walau itu ketika kita mendengarkan berita atau laporan serta kritik perkembangan yang buruk kita masih memakai hati yang dongkol.
Kalau kita menilik arti demokrasi yang pada dasarnya adalah kepercayaan akan kebijakan orang banyak. Inikan berarti bahwa lebih banyak kepala akan semakin banyak masukan dan pengawasan dan itu juga akan semakin besar juga peluang untuk mendekati permasalahan dengan seksama. Jauh dari itu dari dalam lubuknya lebih dari sekedar kepercayaan akan kebebasan sebagai fitrah manusia namun demokrasi adalah haluan yang berusaha menempatkan kesetaraan segenap manusia dan jelaslah betapa demokrasi itu termasuk bersikap setara pada sesama warga ataupun terbuka dengan kritikan, masukan dan perbedaan pendapat bukan sebaliknya demi kepentingan pribadi, golongan ataupun ideologi serta sekedar sebuah keputusan politik demokrasi selalu menjadi tameng atau kambing hitam. Dengan hal itu bukanlah berarti hal yang mustahil atau relatif melainkan sebersit kerendahan hati akan serba keterbatasannya mahluk dalam menghadapi kekayaan realita yang kompleksitas dengan permasalahan, sehingga tak berani untuk menjatuhkan sebuah kata final apalagi dengan memonopoli "kebenaran". Sehingga persoalan-persoalan yang rumit akan mudah diselesaikan apabila itu dilakukan banyak orang. Perbedaan pendapat, saling kritik, memberi masukan, merupakan suatu hal yang wajar karena dengan itu semua akan membawa kita pada kebersamaan menuju suatu cita-cita yang kita inginkan yaitu demokrasi yang benar-benar kembali kepada kita semua.
Kala kita menjadi seorang pemimpin marilah kita semua membuka hati dan menjaga alat indra kita apalagi yang namanya kuping karena kuping sering merasa "panas" apabila ada kata yang memang itu kenyataan yang ada pada diri kita, dengan cara inilah kita semua bisa menjalankan semua dengan sesuai tujuan kita dengan menerima kritikan karena tidak selamanya kritikan itu salah pasti ada yang mana itu bisa membangun dan jangan selalu kita mengkritik apabila kita tidak bisa melakukan apa-apa karena otokritik adalah hal yang percuma saja. Dan jangan kita menggunakan demokrasi sebagai cara untuk mencapai tujuan pribadi maupun golongan karena demokrasi adalah milik semua orang. Persis yang telah diucapkan atau dinyatakan oleh salah seorang pemimpin kita bahwa keterbukaan adalah suatu "cara" bukan "tujuan" begitupun dengan demokrasi kita harus pandang sebagai "cara" bukan untuk mencapai yang namanya "tujuan" dan bukan pula tujuan itu sendiri.

"Pandangan hidup demokratis bertumpu dengan teguh di atas asumsi bahwa cara harus sesuai dengan tujuan dan ketentuan inilah jika dipraktekkan yang akan memancar sebagai tingkah laku demokratis dan membentuk moralitas demokratis.
Janganlah kami ditunjukkan hanya tujuan tanpa cara sebab tujuan dan cara didunia ini sedimikian terjalin, mengubah salah satu akan berarti mengubah satunya lagi juga dan setiap cara yang berbeda akan menampakkan tujuan yang lain.
Dan ingatlah bahwa kuping itu sangat berbahaya bila didekatkan dengan suatu yang menyimpang menurut ketentuan umum dan kuping akan bermanfaat bila itu didengarkan dalam hal yang normatif " !!!(mandolo)

Penulis adalah kader PMII yang merupakan putra daerah BIMA (mbojo)

Perlukah Pemekaran Di NTB ???

TARIK ULUR PEMEKARAN PROPINSI PULAU SUMBAWA MERAJUT KONFLIK ETNIS DAN KEPENTINGAN
Oleh : Rangga
Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar )
tulisan ini diambil dari email/yahoo millis bimacenter millis

tulisan ini terilhami dari dinamika politik kota dan Kab Bima saat ini. setiap hari terjadi aksi menuntut pembentukan PPS (Propinsi Pulau Sumbawa), hal tersebut muncul akibat ketidakpuasan Dou Mbojo atas ketidakadaanya perwakilan Etnis Mbojo (Bima-Dompu) dalam perebutan "NTB 1" dan "NTB 2". issu yang awalnya adalah GOLPUT Pada Pilgub NTB kemudian 'menarik tinta' menjadi issu segera untuk membentuk Propinsi Pulau Sumbawa. Issu ini menjadi "makanan empuk" bagi para kandidat yang berlaga Di Pilgub Juli mendatang dalam memainkan konflik politik khususnya di Pulau Sumbawa (Bima-Dompu) . saya akan sedikit mengupas tentang Kepentingan politik dan etnis terhadap pemekaran tersebut dengan mengetengahkan latarbelakang/ asal muasal rencana Pemekaran Pulau Sumbawa tersebut.
Propinsi Nusa Tenggara Barat atau disingkat NTB, merupakan salah satu propinsi dari 33 propinsi di Indonesia. NTB semula dibentuk karena kesamaan budaya dan agama setelah memisahkan diri dari Propinsi Sunda Kecil yang terdiri dari Bali, NTB, dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 1958. Selama ini Propinsi NTB meliputi dua wilayah pulau besar yaitu Lombok dan Sumbawa. Pulau Lombok yang meliputi satu kota dan tiga kabupaten luasnya 23,51 persen atau sepertiga dari luas pulau Sumbawa dihuni oleh 2,93 juta jiwa sama dengan 70,65 persen penduduk NTB. Kepadatannya 617,76 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan pulau Sumbawa yang meliputi satu kota dan empat kabupaten luasnya 76,49 persen dari luas NTB sama dengan tiga kali pulau Lombok penduduknya 1,22 juta jiwa atau 29,35 persen yang berarti kepadatannya 78,88 jiwa per kilometer persegi. (Sumber BPS NTB 2006)
Pada akhir tahun 2000 yang lalu wacana pemisahan diri pulau Sumbawa dari Propinsi NTB hangat dibicarakan oleh berbagai kalangan. Pro kontra tidak lepas dari pembicaraan maupun seminar yang diadakan berkaitan dengan hal tersebut. Awalnya adalah sekedar mereka-reka atas Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia yang ada diwilayah pulau Sumbawa. Bila Pulau Sumbawa membentuk propinsi sendiri, ia sangat bergantung kepada Kabupaten Sumbawa. Karena secara geografis dan historis, Kabupaten Sumbawa memiliki hubungan erat dengan etnis Sasak. Namun Sumbawa sudah kadung diklaim sebagai etnis Samawa. Ketika diklaim sebagai etnis, maka kita akan bertanya posisinya di propinsi?
Jika Sumbawa bergabung dengan Dompu dan Bima (Pemerintah Kabupaten diwilayah Pulau Sumbawa), besar kemungkinan Sumbawa membentuk propinsi sendiri. Sebaliknya jika masih merasa menyatu dengan Sasak, pembentukan Propinsi Sumbawa kecil kemungkinan bisa terjadi. Minat membentuk propinsi sendiri tidak lepas dari konflik dalam struktur pemerintahan yang terpolarisasi oleh pemahaman etnis. Konflik itu cukup kuat ditengah berbagai kalangan. Sehingga hal ini memunculkan konflik di NTB yang sangat rentan oleh masalah etnis. Karena terdapat tiga etnis -- Sasak, Samawa, dan Mbojo -- masing-masing merebut posisi dalam struktur kekuasaan.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Negeri, Daeng Muhammad Nazir mengatakan, masih terdapat 131 usulan pembentukan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Dari 131 usulan tersebut, 17 di antaranya yang diajukan sebelum diberlakukannya UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan telah dibahas undang-undang pembentukannya oleh DPR. Daeng Nazir mengatakan, sejak 1999 hingga 2004 telah terbentuk sekitar 150 daerah otonom, terdiri atas 117 kabupaten dan 27 kota serta tujuh propinsi baru. Dari beberapa daerah otonom baru itu, ada yang masih menghadapi berbagai kendala dan menimbulkan persoalan serta belum mampu mandiri seperti diharapkan. Berdasarkan evaluasi, sekitar 89,5 persen kabupaten/kota induk belum memberikan dukungan dana, sehingga sering terjadi sengketa. Lalu, 91,2 persen belum memiliki rencana umum tata ruang serta beberapa kabupaten/kota masih rebutan ibukota.
Wacana pembentukan provinsi Pulau Sumbawa ditanggapi serius oleh pihak eksekutif yang berada dipulau Sumbawa, antara lain Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, Sumbawa Besar, Dompu, Bima dan Kota Bima. Pada tanggal 25 Perbuari 2001 diadakanlah sarasehan nasional masyarakat pulau sumbawa di Bandung yang bertemakan “Menyatukan Persepsi Dalam Menyikapi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa” yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Sumbawa – Bandung. Dalam sarasehan tersebut terkuak Wacana pembentukan propinsi Sumbawa yang merupakan akumulasi distribusi kekuasaan yang tidak merata diantara etnis di NTB. Jika ditelusuri kebelakang bahwa ada pertarungan di tingkat elit karena distribusi kekuasaan. Sementara ini pertarungan di tingkat etnis juga merupakan issue yang menggeliatkan pembentukan propinsi Sumbawa. Kita bisa melihat di DPR – RI semua utusan daerah yang berjumlah 4 orang semuanya berasal dari lombok. Dan juga komposisi di anggota DPRD I NTB.
Ditengah wacana pembentukan provinsi pulau Sumbawa yang mulai hangat dan giat diperjuangkan, muncul steatment Mendagri dan Otonomi, Suryadi Sudirja dalam harian kompas, Rabu, 14 Pebruari 2001. Dalam laporan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah menerima usulan pembentukan daerah otonom baru yang terdiri dari 13 Provinsi, 44 Kabupaten, 10 peningkatan status wilayah pembantu kabupaten, 24 peningkatan status kota administratif dan lima usulan pembentukan kota. Ketiga belas provinsi tersebut adalah Banten, Gorontalo, Bangka, Madura, Tapanuli, Bima, Flores, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Maluku Tenggara, Ketapang, dan Luwu Raya. Sumbawa yang didengungkan ternyata Bima yang muncul. Ada apa di balik ini ? konflik mulai ditoreh.
Dari pernyataan tersebut, rentetan konflik menyertai isu pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa.. Konflik etnis bermunculan, tidak hanya antara Lombok (etnis Sasak) yang merupakan bagian dari provinsi NTB dengan sumbawa (Etnis Samawa) dan Bima (Etnis Mbojo). Namun konflik struktural pun menjadi imbas dari masalah tarik ulur pembentukan provinsi baru ini.
Tak pelak lagi, pada tahun 2003, NTB melaksanakan Pilkada Gubernur. Sebelumnya NTB dipimpin oleh gubernur Harun Al Rasyid (Etnis Mbojo), kemudian mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya (sebelum menjadi anggota DPD RI saat ini). Alhasil Pilkada NTB pada tahun 2003 tersebut dimenangkan oleh Lalu Sarinata dari etnis Sasak.
Kemenangan Lalu Sarinata menjadi jargon kemenangan etnis Sasak. Beberapa tulisan ditembok maupun spanduk menghujat etnis Mbojo (Bima) disertai dengan berbagai cacian dan umpatan yang menyakitkan, tentunya dengan menggunakan bahasa sasak. Mataram bergejolak, walau saat itu tidak sampai menimbulkan keributan yang signifikan karena aparat kepolisian sigap dalam membaca kondisi. Masalah tidak sampai disitu, konvoi sepeda motor yang mengolok-olok masyarakat Bima yang tinggal di Lombok (khususnya Mataram) oleh masyarakat lombok kian berani. Puncak dari suasana tersebut adalah terjadinya bentrok antara mahasiswa Pertanian UNRAM yang didominasi mahasiswa Bima, Dompu dan Sumbawa (semuanya dari pulau Sumbawa) dengan Mahasiswa Tekhnik UNRAM yang didominasi oleh Mahasiswa Lombok dan Bali. Bentrokan ini berimbas pada pemboikotan transportasi Bima – Mataram dan begitupun sebaliknya. Mataram mencekam selama 2 hari. (Kilas, 29/5)
Dalam struktur birokrasi pemerintahan provinsi juga terkena imbas, para pejabat teras yang menempati kursi Kanwil, Kadis, Badan maupun kabag khususnya etnis Mbojo dan Samawa dimutasi secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan alasan penyegeran roda kepemerintahan. .
Diskriminasi sukuisme dimulai, Masyarakat Bima (Mbojo) mengadakan acara halal bihalal di Jakarta pada mei 2002. disela acara halal bihalal yang diselenggarakan oleh ”Komunitas Lamba Rasa” juga membahas kesiapan serta kesepakatan masyarakat Bima untuk terus memperjuangkan provinsi Pulau Sumbawa dengan kesepakatan bahwa ibu kota provinsi berada dikota Bima sesuai dengan salah satu ketentuan UU, bahwa ibu kota propinsi harus berada dalam wilayah kota madya. Prof. Dr (alm) Affan Gafar menyatakan bahwa sudah saatnya kita membangun tanah kelahiran kita sendiri oleh diri kita sendiri. Lombok awalnya bukan bagian dari wilayah Nusa Tenggara Barat, namun dari Sunda Kecil (Bali) karena sama-sama etnis sasak.
Tak disangka, pernyataan almarhum Prof.Dr Afan Gaffar mengundang reaksi serius dari masyarakat sumbawa. Hal ini juga dipicu oleh pernyataan Mendagri dan Otonomi Daerah, Suryadi Sudirja bahwa salah satu daerah yang merupakan daerah otonom baru adalah Bima, bukan Sumbawa. Politik mulai merasuki sendi perseteruan etnis ini. Dalam menganggapi hal tersebut Arif hidayat, pencetus Sarasehan nasional masyarakat Pulau sumbawa di bandung pada awal 2001 lalu segera menyelenggarakan Kongres Rakyat Sumbawa di kec Alas yang dihadiri ribuan warga. Kesepakatan yang dicapai adalah, ibu kota propinsi yang akan dibentuk harus di Sumbawa Besar.. Hal ini didukung penuh oleh Bupati Sumbawa, Drs. H. A Latif Majid, SH. Dengan menyatakan bahwa “jika ibukotanya tidak dikabupaten Sumbawa, lebih baik pembentukan provinsi dibatalkan, dan kami dikabupaten Sumbawa ini akan membentuk provinsi sendiri” (Gaung Sumbawa, mei/2002)
Saling klaim tempat yang akan menjadi calon ibu kota propinsi mengakibatkan ketidak harmonisan hubungan pemerintahan Sumbawa besar dan Bima. Puncak dari sikap dingin ini adalah terjadinya boikot jalan yang dilakukan masyarakat sumbawa terhadap kendaraan umum maupun pribadi yang menuju Bima dan sebaliknya. Berbuntut terjadinya bentrok masyarakat Bima dan masyarakat Sumbawa di camp pekerja PT Newmont Nusa Tenggara batu hijau sumbawa yang menewaskan 3 orang dan puluhan korban lainnya luka-luka dari kedua pihak pada tahun 2003.
Pada tanggal 16 september 2006 dimotori oleh Putri Sultan Bima yang juga Ketua Umum Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S), Hj.Siti Maryam Rahmat melakukan pertemuan di pantai Lakey kab Dompu yang dihadiri oleh Bupati dan Ketua DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota Bima dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali. Dari pertemuan tersebut disepakati tentang ibu kota propinsi pulau sumbawa yaitu di sumbawa besar, demi menjaga stabilitas masyarakat pulau sumbawa.
Dari pertemuan segitiga etnis Mbojo tersebut (Kab Dompu, Bima dan Kota Bima) dilanjutkan dengan Pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa yang berlangsung Minggu pagi 20 November 2006, merupakan momen bersejarah bagi perjuangan Pembentukan Provinsi pulau Sumbawa (PPS).. Betapa tidak, pada pertemuan di Sumbawa tersebut, menjadi ajang persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi daerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa.
Nota persetujuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR Kabupaten Sumbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Turut menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar, Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI , Hamdan Zulva.
Persoalan tidak berakhir sampai disitu, masyarakat Lombok (sasak) menanggapi sinis atas nota persetujuan dalam rangka pembentukan propinsi pulau sumbawa. Celah demi celah dimasuki, rentetan aksi serta peristiwa etnis yang terjadi di NTB tidak terlepas dari ketidak relaan Lombok melepas Sumbawa dalam kesatuan provinsi NTB. Mulai dari tersendat-sendatnya pemekaran Lombok Utara dan Kota Selong hingga saat ini. Jika kita merunut pada perundang-undangan yang berlaku, provinsi induk (NTB) minimal harus memiliki lima kab/kota. Keterkaitan penikaman sdr Ridwan, salah seorang mahasiswa IKIP mataram asal Bima juga merupakan buntut kesinisan masyarakat sasak.
Pihak ke tiga yang bermain dalam kekisruan etnis tidak bisa dielakkan. Wacana pembentukkan provinsi Sumbawa bukanlah rumor yang berhembus begitu saja tanpa ada api yang menghasilkan asap. Suka cita ini ditanggapi dengan rasa syukur oleh etnis yang berdiam dipulau Sumbawa. Dilain pihak kelompok yang tidak menginginkan Sumbawa menjadi provinsi, saat ini menjadikan Sumbawa sebagai medan test Case untuk mempertontonkan kemahirannya. Konspirasi lokal makin menguat membentuk jaringan kerja untuk memperkeruh kondisi di Sumbawa. Langkah strategis yang disusun oleh kelompok anti Provinsi Sumbawa diantaranya :
1.. Gagalkan terwakilinya Etnis Sumbawa sebagai wakil rakyat di MPR-RI
Sampai saat ini wakil Kabupaten Sumbawa belum mendapat rekomendasi dari tingkat satu untuk menempatkan wakil dari Kabupaten Sumbawa di MPR-RI. Kenyataan ini merupakan kesengajaan dengan harapan pembentukan opini tingkat Nasional akan isue strategis Sumbawa tidak mendapat dukungan dari anggota perlemen di jakarta. Meskipun kita diambang penerapan otonomi, namun keputusan strategis daerah masih dipegang di tingkat Pusat, termasuk keinginan beberapa daerah untuk membentuk daerahnya menjadi provinsi yang berdiri sendiri.
2. Tampilkan Pemimpin Sumbawa yang memihak kepada Gubernur.
Realitas ini bukan hanya sebagai mimpi dalam perencanaan, namun sudah pada kenyataan yang sebenarnya. Bupati terpilih diharapkan menjadi Boneka Gubernur NTB, tanpa bisa menunjukkan kemandirian. Padahal diera penerapan Otonomi Kepala Daerah kabupaten harus bisa mandiri mengatur dirinya sendiri. Hal ini didukung akan keberadaan pertambangan yang menyumbang PAD terbesar bagi NTB. Harapan pasti pemimpin Sumbawa yang tampil tidak semaksimal mungkin memperjuangkan aspirasi etnis Sumbawa, namun masih dibawah bayangan penguasa tingkat pemprov.
3. Boikot Kegiatan Pertambangan Newmont Nusa Tenggara ( NNT )
Polemik dilingkar tambang semakin memanas. Tuntutan masyarakat lingkar tambang akan terlibatnya mereka dalam ketenagakerjaan NNT semakin ramai. Ditambah lagi dengan tuntutan pelanggaran PT. NNT akan pelanggaran masalah lingkungan semakin terekspose ketingkat Nasional. Satu kepincangan yang jelas-jelas terbukti baru - baru ini. Masyarakat lingkar tambang mengungkapkan pola provokasi kelompok tertentu dilingkar tambang agar mereka memboikot kegiatan PT.NNT. Sasaran yang ingin dipetik dari rencana ini yaitu agar Investor Asing yang masuk ke Sumbawa menarik diri dan membatalkan rencana investasi di tanah bertuah "Lembah Mineral" Samawa. Isue strategis dengan mengedepankan Newmont sebagai lahan provokasi dikarenakan NNT merupakan Multinational Company yang setiap saat di pantau oleh dunia International, terlebih lagi dalam bursa saham international. Gambaran akan kondisi NNT merupakan penelaian objective dari investor asing akan kondusif tidaknya suatu daerah, termasuk Sumbawa.
4. Gagalkan Pemihakan DPRD I yang akan pembentukan Provinsi Sumbawa
Skenario strategis yang akan dilaksanakan oleh kelompok anti Provinsi Sumbawa yaitu melobi anggota DPRD NTB supaya tidak memihak pembentukan provinsi Sumbawa. Hal ini adalah kewajaran, rekomendasi pembentukan propinsi baru akan tetap melewati DPRD I. Kenyataan ini juga berlangsung di Riau. DPRD I menolak kepuluan Riau menjadi provinsi yang berdiri sendiri. Padahal aspirasi akar rumput merupakan realita yang tak bisa di bendung bahwa kepulauan Riau bisa menjadi provinsi saat ini. Begitu juga dengan Sumbawa, kelompok tertentu dengan intensif akan tetap mengkampanyekan bahwa Sumbawa belum bisa mandiri menjadi Provinsi mandiri.
5. Timbulkan konflik Etnis di Pulau Sumbawa
Pulau Sumbawa didiami oleh dua etnis besar yaitu Samawa dan Mbojo. Kedua etnis ini mendiami pulau Sumbawa dengan kabupaten yang berbeda. Konflik antar etnis dengan mudah muncul kepermukaan seiring dengan menguatnya kepentingan masing-masing etnis akan Sumber Kekayaan Alam yang ada di daerah masing-masing. Issu yang dilontarkan, Sumbawa masih Sombong dengan Sumber Mineralnya, sedangkan etnis Mbojo mempunyai Sumber daya yang tak kalah bersaing yaitu Sumber Daya Manusianya yang Ulet. Kenyataan ini bisa menjadi pancingan yang mengasikkan bagi provokator untuk mengiring konflik diantara dua etnis tersebut. Akibatnya cita-cita kebersamaan untuk menunjukkan kemandirian akan gagal dengan hanya menguras energi berkonflik sesama etnis.

Hal tersebut diatas akan kembali menciutkan niat pembentukan propinsi pulau sumbawa yang sekarang sedang dikaji di DPR RI sesuai dengan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Walaupun DPRD NTB telah menyetujui keinginan masyarakat pulau sumbawa untuk berpisah dengan Propinsi NTB dan membentuk Propinsi Pulau Sumbawa. Namun Gubernur NTB, Drs. H. Lalu Sarinata masih enggan menandatangi keputusan tersebut dengan alasan masih menunggu hasil kajian Tim tekhnis PPS.
Pro kontro baik di tingkat elit politik, budayawan, akademisi serta masyarakat awam masih terjadi hingga saat ini. Padahal Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Banten, serta Maluku Tenggara yang belakangan mengusulkan pemekaran lebih dahulu terrealisasi. Hal ini dikarenakan tarik ulur kepentingan para elit. Sedangkan masyarakat bawah dibiarkan menunggu penuh harap. Persoalan ini adalah masalah harga diri bagi etnis Mbojo dan Samawa. Tempaan geografis yang keras dan panas membentuk watak warga. Kehawatiran bentrokan antar etnis diprediksikan terjadi apabila aspirasi masyarakat Mbojo dan samawa sejak tahun 2001 terabaikan.
Jika kita sama – sama memahami karakter masyarakat pulau sumbawa, maka tidak ada ubahnya seperti kejadian di Sulawesi Barat maupun peristiwa yang terjadi Maluku Utara baru-baru ini. Sebelum hal tersebut terjadi dan issu ditunggangi oleh pihak ke tiga yang hanya memanfaatkan situasi, maka pemerintah harus peka terhadap aspirasi masyarakat yang mulai mengkristal saat ini.
Dari pemahaman penulis diatas, kita dapat melihat setidaknya memprediksikan fenomena serta dinamika politik pemekaran wilayah di era otonomi daerah saat ini. Ada kecendrungan bahwa etnis maupun budaya dijadikan ’bola liar’ dalam perseteruan kursi kekuasaan. Pemekaran wilayah merupakan perebutan lahan jabatan yang basah. Atas ambisi tersebut, kesejahteraan masyarakat yang merata dijadikan jargon utama tanpa memadukan konsep estetika politik yang santun.
Kekhawatiran penulis adalah, apabila masyarakat telah jenuh dengan keadaan para elite yang berkecamuk atas berbagai kepentingan pribadi. Mengakibatkan pengkristalan kekecewaan masyarakat yang menjadikan masyarakat apatis dalam menilai setiap kebijakan pemerintah yang pada akhirnya berbuntut pada pengrusakan/ kerusuhan akibat ketidak puasan masyarakat yang selama ini di bodohi.
Dalam konflik ini, penulis menggambarkan bagaimana Andorra, sebuah dataran tinggi yang terletak diantara Spanyol dan Perancis secara menyakinkan pada tanggal 14 Maret 1993 mengesahkan sebuah referendum bagi kedaulatan mereka sebagai bangsa yang merdeka. Andorra yang luasnya hanya 453 Km2 (lebih kecil dari Singapura 581 Km2 dan Brunei Darussalam 6770 Km2) berpenduduk hanya 47,000 jiwa (1993) dan secara resmi mendaftarkan diri sebagai anggota PBB ke-148. Begitupula dunia menyaksikan Timor Leste melepaskan diri dari Indonesia melalui sebuah referendum yang kontroversial pada akhir Agustus 1999, demi sebuah harga diri (dignity) mereka sebagai bangsa sekaligus ingin bebas dari penindasan militer Indonesia selam 23 tahun. Eritria melepaskan diri dari Etiopia, Yugoslavia pecah menjadi empat negara baru, Uni Soviet pecah dengan cukup damai menjadi lima belas negara baru dan dalam proses untuk akhirnya menjadi enam puluh atau tujuh puluh negara baru. Jhon Naisbitt seorang futurolog terkemuka mempridiksikan tiga negara yang sangat potensial untuk pecah, Yugoslavia, Uni Soviet dan Indonesia. Dua telah terbukti, Indonesia tinggal menunggu waktu? Tuntutan Aceh dan Papua merdeka yang diperlakukan tidak adil oleh Jakarta merupakan sinyalemen dan warning untuk tidak dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia.
Shakespare menyatakan “Small is Beautiful” lebih kecil itu lebih gesit, lebih inovatif dan lebih efesien karena besar cenderung tidak efisian, mahal, birokrasi yang boros, tidak fleksibel dan mendatangkan bencana.
Sudah saatnya bagi seluruh elemen masyarakat Sumbawa baik yang berada di Pulau Sumbawa maupun di perantauan untuk memberikan perhatian pada Pulau Sumbawa. Pulau yang selama ini terlantar dan termajinalkan (baca : tidak diperhitungkan) secara sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam konstelasi regional maupun nasional.
Sebuah langkah penting harus segera dilakukan untuk meminimalisasikan aksi-aksi yang merugikan masyarakat itu sendiri pada khususnya dan pembangunan indonesia pada umumnya. Keadaan yang kondusif, pemerintah yang berwibawah serta persoalan yang dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat harus segera ditempuh. Dalam pra konflik maupun konflik yang sedang terjadi di Nusa Tenggara Barat, akhir-akhir ini maka ada 2 hal yang perlu untuk segera diambil langkah penting yaitu :
1. Bagaimana agar NTB tidak pecah? Hal tersebut sangat bergantung pada bagaimana para elite membagi kekuasaan. Kita bisa mencontohkan, ketika seorang gubernur berasal dari etnis tertentu, etnis lain mesti menerima dengan perhatian serius. Jika pada jabatan di pemerintah daerah tidak memungkinkan, sharing pada jabatan-jabatan strategis pada departemen yang cukup menjawab menyatunya perasaan masyarakat NTB. Sebaliknya jika tidak diakomodasi, besar kemungkinan untuk membangun polarisasi dalam masyarakat.
2. Marginalisasi terhadap etnis tertentu dalam struktur pemerintahan harus ditekan. Pembagian yang ideal antar etnis tidak harus mengabaikan kemampuan individu bersangkutan, melainkan tetap berdasarkan kriteria kemampuan. Dengan cara begini, konflik akan berhasil di-manage dengan baik. pembagian kekuasaan dalam era otonomi sudah memungkinkan. DPRD bisa melakukan itu. Tidak harus menunggu sebagai negara federal. Sebagai contoh gubernur orang Bima, wagub orang Sasak. Kaderisasi kemudian dilakukan di tingkat bawah untuk calon gubernur berikutnya. Komunikasi politik pun bisa melahirkan gubernur secara bergiliran berdasarkan etnis.
Marilah berpikir secara rasionalitas, siapapun yang manaruh perhatian besar terhadap perjuangan rakyat Sumbawa, mengapa tidak bisa bekerjasama. Apalah artinya sebuah identitas etnis jika pribadi tersebut tidak bisa memperjuangkan kepentingan Sumbawa baik ditingkat Lokal maupun nasional. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah kerja lapangan bukan sebuah slogan yang hanya digemborkan tanpa hasil yang jelas. Jalan keluar yang pasti dari persoalan tersebut adalah memaksimal potensi Pulau Sumbawa dan mendorong perjuangan dalam mensukseskan pembentukan kabupaten Lombok Utara dan Kota Selong.

(Mohon Ditanggapi serius karena hal ini sangat riskan dalam menuju konflik etnis di Pulau Sumbawa. sebab Pilgub NTB adalah target, Pilpres 2009 adalah sasaran)

Personal Blog Copyright © 2011 | Template by Premium Template | Powered by Blogger