Oleh; Muhammad Noval*
Tulisan ini berawal dari sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun yang silam ketika itu terjadi pembakaran maupun sweping terhadap buku-buku yang terasa berbau kiri karena dianggap atau diidentikkan dengan komunisme apalagi kalau sebuah negara itu telah mengalami ‘luka’ akibat komunis maka akan sangat mudah isu itu dimasukkan dan berkembang seperti hal nya di Indonesia. Sebenarnya ada apa sih dengan pemikiran yang kiri itu distigmakan sosialis?
Istilah ‘kiri’ sebenarnya menjadi hal yang biasa dalam perbincangan kita karena kiri sudah menjadi kebiasaan kita sekaligus sudah menjadi kesepakatan untuk membedakan dengan yang sebelah ‘kanan’, dan ada juga yang mengatakan kalau kiri itu jahat dan kanan itu baik. Namun ketika term ‘kiri’ dimasukkan dalam ranah pemikirin akan menjadi hal yang sangat luar biasa sekali yang selalu identik dengan anti kemapanan, tidak saja itu karena pemikiran ‘kiri’ ini juga menyimpan gagasan-gagasan besar yang sangat menantang, melawan, sekaligus ‘merusak’ setiap tradisi yang sudah dianggap ‘mapan’ (establisment) dan bahkan bermunculan ide-ide besar yang mampu merubah keadaan.
Dalam lintas sejarah term ‘kiri’ ini acap kali di identikkan atau ditimpakan kepada segala hal pemikiran dan gerakan sosial yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan yang dominan. Dan lebih menarik lagi term ini akan menjadi ‘hantu’ ketika dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol-simbol ‘revolusi’ sebagaimana Sosialisme, Marxisme, serta Komunisme. Sehingga dalam ruang kesadaran kita pun sudah terlanjur melembagakan stigmatisasi atas term kiri ini sebagai sosialis, jadi tidak salah kalau tahun yang silam itu terjadi pembakaran buku yang berbau kekirian sebab saat itu di Indonesia masih tersisa luka akan komunis pada orde lama atau yang sering disebut G30 S PKI namun satu hal yang sangat disayangkan sekali seperti yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno “fenomena membakar buku tersebut adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran-pikiran yang tidak mampu dilawan secara pikiran , utamanya pada abad ke-20. Model ini sering kali digunakan serta menjadi ciri khas dari Fasisme dan Nazisme, fenomena tersebut disamping menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk model pemikiran, juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminologi ‘kiri’ ini ”.
Dan ini terbukti sekali dalam tatanan masyarakat sekarang kita (masyarakat Indonesia) terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah, bahwa setiap pemikiran yang terasa berbeda dengan arus utama atau mainstream yang berkembang saat itu selalu dianggap model pemikiran ‘kiri’. Dan lebih parahnya ‘kiri’ dalam hal ini selalu di identikkan dengan komunisme. Padahal wacana ‘kiri’ senantiasa untuk selalu bergerak dalam wilayah sosial dan pemikirannya senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang ‘nakal’ untuk menghancurkan segala hal yang berbau kemapanan, terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme moderen. Nah dengan adanya pemikiran ini akan seharusnya kita bisa berpikir sebenarnya ada apa dengan kemapanan itu dan kenapa pemikiran ‘kiri’ ini harus dimusuhi? Seperti yang ditulis oleh Listiyono “bisa jadi kemapanan termasuk kemapanan pengetahuan memuat seperangkat prinsip yang manipulatif untuk sekadar mempertahankan kemapanan tersebut. Pembongkaran atas situasi ‘mapan’ dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan ‘kiri’, terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung dibalik jubah ideologi-ideologi .”
Sebenarnya pemikiran dan gerakan ‘kiri’ lebih diletakkan dalam pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung dinomorsatukan sebagai kemapanan formal, dan pada saat yang bersamaan ia akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan. Dengan demikian perspektif ‘kiri’ dalam hal ini sekedar membongkar asumsi dasar dari sebuah epistemologi penyusun sebuah pengetahuan, karena jangan-jangan pada setiap kemapanan pengetahuan itu sesungguhnya bersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran itu. Dan sudah jelas sekali pembongkaran seperti ini akan ‘membahayakan’ kekuasaan. Maka tidak heran kalau pada 5 tahun silam itu terjadi pembumi hangusan buku yang berbau ‘kiri’ itu yang sebenarnya ini tidak harus terjadi karena “Hasil Pemikiran ‘Kiri’ VS Anarkis” pasti pemikiran akan hilang dengan sendirinya kalau memang pemikiran ‘kiri’ itu dianggap salah atau pun menyimpang seharusnya yang terjadi adalah dialetika yang baik bukan gerakan naif, inilah hal yang sangat disayangkan seperti apa yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno diatas.
Munculnya term ‘kiri’ pada dasarnya tidak terlepas dari persoalan bahasa, karena sudah jelas dalam beberapa dekade terminologi ‘kiri’ menjadi momok serius dalam konstelasi pemikiran bahkan dulu untuk mendapatkan buku yang dianggap ‘kiri’ akan sangat sulit sekali dan kalaupun toh kita mendapatkan pasti sangat minim sekali seperti apa yang diungkapkan oleh Andi Muawiyah “untuk membaca buku karl marx saya harus sembunyi-sembunyi dan selesai membaca langsung disembunyikan lagi” ini menunjukkan betapa sulitnya untuk mempelajari hal-hal yang sudah dianggap keluar dari hal-hal yang sudah dimapankan menyimpang dari aturan. Kita tidak akan tahu siapa yang menghembuskan terminologi ini. Sehingga telah terkonstruk dalam pemikiran manusia yang selalu terbentuk dalam dua oposisi binner yang akan saling berhadapan seperti yang diungkapakan oleh Ferdinand “bahwa kiri harus selalu dihadapan dengan kanan, dimanapun, kapanpun serta dalam situasi apapun”. Dengan munculnya dua oposisi binner ini menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sampai melembaga dalam ruang kesadaran sehingga pola pikir yang terbentuk adalah pola berpikir yang dikotomis artinya dalam proses berpikirpun manusia acapkali memberikan identitas tertentu sebagai pembeda, yang ironisnya selalu dibenturkan sebenarnya pada dasarnya ini adalah suatu permainan bahasa yang merasa ketakutan hasil pemikirannya ataupun kekuasaannya akan diambil alih maupun disingkirkan sehingga wacana yang terbangun adalah setiap yang berbeda selalu dianggap sebagai ‘lawan’ yang mestinya dilenyapkan dan tentu saja dengan ‘bumbu-bumbu’ negatif atas pola pikir yang berbeda tersebut. Tujuan dari ini semua adalah bagaimana pola pikir yang berbeda dibebani dengan sejumlah stigmatis dan menggiringnya kepojok kesadaran manusia agar tidak dipelajari dan atau tidak dikenal orang, yang pada akhirnya terciptalah situasi-situasi dimana manusia digiring untuk (latah) menerimanya sebagai kesalahan sebuah pemikiran dan endingnya makin kokohlah ‘kekuasaan’ maupun ‘pemikiran’ yang telah dimapankan. Kelihatan sekali bagaimana bahasa itu dipergunakan sebagai alat propaganda untuk meligitimasi sebuah kekuasaan maupun pengetahuan, seperti apa yang diungkapkan oleh Ariel Hariyanto “bahasa merupakan suatu kegiatan sosial” karena dari sini terlihat bagaimana bahasa itu senantiasa membentuk subyek-subyek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu, atau dengan bahasa lainnya bahasa merupakan ruang bagi pergelaran kuasa-kuasa tertentu. Sehingga terbentuknya binner seperti “kanan” dan “kiri” adalah cerminan dari kekuatan pencipta bahasa dalam mengartikulasikan kepentingan politiknya.
Tokoh-tokoh yang sering dicap kiri adalah seperti Karl Marx, Nietzsche, Gramsci, paulo freire, jurgen habermas, dll selain dari para tokoh barat ini dari tokoh pemikir islam pun ada yang di cap ‘kiri’ oleh jamannya seperti Muhammad Arkound, Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer. Apakah yang menyebabkan orang-orang ini di cap sebagai tokoh ‘kiri’?
Karl Marx tokoh yang satu ini sangat terkenal dengan Materialisme Dialektis dan Historis yang merupakan suatu pemahaman bahwa dunia selalu berada dalam proses perkembangan yang dialektis yakni penerimaan dan penolakan. Jadi pengetahuan manusia yang muncul dari proses dialektis adalah benar jika dipahami dengan kerangka hubungan antara setiap kejadian dalam dunia yang nyata. Dari hal ini muncul suatu pemahaman bahwa kenyataan memunculkan kesadaran manusia. Hal ini berarti memunculkan pengetahuan sebagai salah satu bentuk kesadaran. Jadi dalam proses dialektis ini terkandung unsur-unsur yang saling bernegasi. Dalam pemikiran yang lain tentang perjuangan kelas karl marx selalu melakukan perlawanan terhadap mereka para borjuis dari sini karl marx berusaha untuk mengangkat para kaum buruh / proletar. Selain Karl Marx kita juga akan melihat bagaimana Nietzche melakukan dekontruksi atas kemapanan akal dan juga kehendak untuk berkuasa, pemikiran Nietzche ini mengejewantahkan bahwa manusia itu akan menjadi agung jika memadukan secara harmonis dari tiga hal yaitu; kekuatan, kecerdesan dan kebanggaan. Nietzsche adalah seorang Vitalis dan Nihilisme namun vitalisme disini mengandung makna semangat hidup. Menurut dia manusia itu agung asal mau menjulangkan semangat hidup dan gairah setinggi-tingginya, untuk itu manusia harus bebas dari kekuatiran akan dosa dan bebas dari nilai-nilai tradisional yang telah membelenggu potensi kemanusiaannya. Seorang filsuf kiri yang sangat berkonsentrasi dalam bidang pendidikan adalah Paulo Freire dengan Pendidikan Tertindas dia memunculkan berbagai kesadaran baru untuk melawan berbagai ketertindasan secara edukatif dengan berpijak pada kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Paulo freire sangat intens sekali dalam memperjuangkan kebebasan bagi orang-orang termiskin dari yang miskin. Paulo freira pun bahkan telah sukses menarik minat warga yang buta huruf untuk belajar dan menulis dalam waktu yang singkat yaiut 30 menit. Selain tokoh barat ada dua tokoh islam yang di cap kiri yaitu Mohammad Arkoun yang melakukan rekontruksi terhadap Al-Qur’an dengan nalar kritis. Nah kalau dilihat dari ini sebenarnya kemauan dari Muhammad arkoun adalah bagaimana agar orang-orang yang melakukan interpretasi terhadap al-quran itu tidak salah atau salah kaprah sehingga pesan yang terkandung didalamnya tidak melenceng jauh, menurut Arkoun “teks al-quran telah banyak melahirkan literature tafsir, interpretasi, sepanjang sekian abad sejak kelahirannya sampai dengan sekarang, tumpukan tafsir itu di ibaratkan menyerupai lapisan-lapisan geologis pada bumi, yang satu berada diatas yang lainnya sehingga sangat sulit untuk menembus keperistiwa pembentukan pertama (al-hadas alta’sisiyyu al awwl) dalam keadaan yang masih segar dan kaya, kecuali jika telah dibongkar lapisan-lapisan geologis yang pejal yang tak lain adalah literature tafsir yang menjadi penghalang pemandangan. Jika gagal untuk mengetahui sebagaimana adanya, maka yang diketahui adalah hanya sebatas citraan-citraan yang terefleksi darinya.” Bahkan pendapat arkoun yang sangat terasa controversial sekali adalah iamengatakan “bahwa dalam tafsir islam dengan segala macam mazhab serta alirannya, sesungguhnya Al-Qur'an hanya merupakan ‘alat’ untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur'an itu sendiri dengan begitu semua tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri.” Arkoun pun mengkritik tradisi ortodoks yang didominasi oleh logosentrisme selain itu dia juga mengkritik dunia mitos yang terlahir dari visi masa lalu yang eksklusiv. Selanjutnya Hasan Hanafi seorang tokoh yang mempelopori teori Oksidentalisme sebagai lawan dari Orientalisme dan dia juga yang menggagaskan Kiri Islam, dari studi Oksidentalisnya inilah Hasan Hanafi berusaha “menelanjangi” sekaligus membongkar hegemoni barat atas dunia islam. Karena westernisasi telah membuat dunia timur (Islam) bagai berjalan diatas “dua kaki yang berbeda”. Berawal dari sini dia mempelopori Oksidentalisme untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap ruang kesadaran peradaban Timur, karena selama ini dunia Timur dijadikan sebagai bahan objek kajian bagi dunia barat sebagaimana dikenal dengan Orientalisme.
Ini hanyalah sebagian kecil orang-orang yang dicap ‘kiri’ tapi sebenarnya masih ada banyak tokoh-tokoh kiri yang terus melakukan resintensi terhadap segala bentuk pengetahuan maupun kekuasaan yang telah di mapankan dan karena pemikiran ‘kiri’ ini dianggap berbahaya maka berbagai upaya mereka lakukan untuk menghilangkan sisa pemikiran kiri ini. Dan salah satu yang pernah terjadi pada tahun lalu atas pembakaran buku itu merupakan suatu bukti bahwa pemikiran kiri ini memang ingin dilenyap dari permukaan ini? TANYA KENAPA?
Nah sebagai seorang mahasiswa anda tahu apa yang harus anda lakukan karena jangan-jangan sesuatu yang dimapankan itu memuat berbagai kepentingan!!
Penulis adalah Co. Dirjen Advokasi BEM-F Saintek 2006-2007
dan Co. Gerakan PMII rayon “pencerahan” Galileo 2006-2007.
Kader PM11 rayon “pencerahan” Galileo.
0 comments:
Posting Komentar
untuk acuan saya dalam mengelola content blog ini saya ucapkan terima kasih atas komentar anda